Pak, pulau kita yang mana?
Pasti itu yang saya teriakkan setiap kali perahu kecil yang saya tumpangi bersama Bapak mendekat ke pulau pulau kecil di bagian utara Jakarta.
Masih satu jam lagi baru kelihatan. Itu masih pulau Pramuka.
Saya selalu bergairah setiap kali Bapak mengajak saya pulang ke pulau Tidung.
Saya selalu terbayang, nanti malam makan ikan bakar buatan Mbah.
Nanti malam makan kepiting rebus hasil tangkapan Mbah.
Ya, Mbah saya nelayan laut lepas.
Beliau sangat jarang pulang ke pulau tidung.
Setahun sekali mungkin.
Dan Bapak tidak pernah sudi melewatkan momen libur Idul Fitri tanpa pulang ke Pulau Tidung.
Pulang saat lebaran berarti berkumpul sempurna dengan semua keluarga.
Keluarga Bapak yang kebanyakan nelayan lepas.
Yang kebanyakan berada di perbatasan negara.
Yang kebanyakan hanya punya waktu sesekali untuk pulang.
Besok paginya saya pasti dibonceng Mbah ke arah selatan pulau dengan sepeda ontel tua miliknya.
Mbah lantas memanjat pohon kelapa dipinggir pantai dan mengupasnya untuk saya.
Ndu, pohon kelapa ini kuat. Dia diempas angin tapi masih bisa berdiri tegak.
Ndu, pohon ini bisa hidup dimana saja.
Ndu, kelak kau harus sekuat ini.
Kata Mbah pada saya.
Itu terus yang Beliau katakan sampai saia hapal.
Saya terlepas Mbah, saya belum bisa setegar batang pohon kelapa.
Saya masih nyiurnya Mbah.
Mbah bicara soal tegar setelah itu Mbah pergi.
Mbah bicara soal kokoh setelah itu Mbah pergi.
Mbah bicara soal kuat setelah itu Mbah pergi.
Saya masih mau menebak pulau Mbah.
Saya belum hapal Pulau kita, pulau yang keberapa setelah Pulau Pramuka.
Saya masih mau menghapal ejawantah Mbah.
Sepeda Mbah belum sempat saya beri oli, Mbah.
Mbah kadung pergi.
Saya terlepas Mbah,,
Mbah belum sempat melihat saya dewasa.
*Mbah, ceritakan saya tentang pohon kelapa di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar