Minggu, 18 Juli 2010

Surat untuk Mataharijamtujuhpagi

Pertengahan April 2010

kepada: Mataharijamtujuhpagi

dengan hormat,
surat ini mungkin sangat mengejutkan, karena ditulis oleh saia dan ditujukan untuk anda. semoga anda tidak sampai hati untuk membuang surat ini ke selokan di jalan raya atau hanya menyimpannya di laci meja kerja anda.

tadi saia melihat Anda, kemarin juga, saia berharap besok juga masih bisa. ah! saia tidak pandai berbasa basi. saia ingin segera memuntahkan apa yang selama ini menjejal di kepala [juga di tenggorokan saia].

saia tau ini tidak biasa, apalagi bagi saia [mungkin juga bagi anda]. baik, saia akan mulai sekarang. saia berantakan. saia tidak bisa mengatur napas saia setiap kali anda lewat di depan meja kerja saia. saia bingung. saia linglung. bukan karena saia jatuh cinta pada anda [atau mungkin belum]. ternyata saia kagum dan menaruh hormat pada anda.

justru karena karena rasa hormat saia pada anda saia jadi makin bingung. mau diapakan perasaan saia.

bagi saia diam adalah jawaban sementara atas pertanyaan pertanyaan yang selama ini berdesakan dari alam bawah sadar saia tentang apa yang sebenarnya sedang saia derita. tapi kelamaan, diam malah jadi bumerang buat saia. saia semakin linglung.

saia tau setelah mambaca tulisan ini [dan mungkin juga berusaha mencernanya], anda jadi ikut bingung. saia tau anda langsung ingin membuang tulisan ini sejadi jadinya dari pada anda semakin linglung.

saia tau anda juga ingin berkata: “rasanya tidak pantas seorang wanita menulis ini”

saia hanya ingin bicara. karena diam menyiksa saia.

saia harap, besok pukul delapan, keadaan kembali seperti semula. saia harus mengerjakan cover yang deadline seminggu ke depan.



[surat ini tidak pernah dikirimkan]

Jumat, 16 Juli 2010

. d . r . e . a . m . i . n . g . o . f . . . .

seandainya...
kelak setiap tengah malam bisa bertahajud bersamamu.
bisa setiap subuh jadi makmummu.

tiap pagi saia bangunkan kamu dengan secangkir kopi.
pahit.
seperti permintaanmu.
dan pisang goreng *jika aku tidak sempat membuat nasi goreng.

sebelum berangkat kerja, aku sempatkan merapikan kerah kemeja coklatmu.
iya, kita tidak berangkat bersama.
kita beda kantor.
aku masih dikantor kita yang dulu.

tiap tengah hari kau menelpon.
menanyakan kabar anak2 kita: Fikri dan Khumairah.
sebelumnya aku sudah lebih dahulu menelpon ke rumah.
anak2 kita sedang bermain lego.

kemudian sore harinya kamu menjemput aku dikantorku.
dijalan, kamu bercerita tentang job desain yang menumpuk.
aku cuma bercerita, sepanjang siang tadi mati lampu.

tiap kita pulang, anak anak bersorak.
mereka sudah mengenakan sarung dan mukena.
tak sabar shalat maghrib dengan kita.

*sesekali kita memboyong anak anak kita menginap dirumah neneknya.


Terimakasih telah membuat saia berandai andai seindah ini -mataharijamtujuhpagi-

Kamis, 15 Juli 2010

Culik Saia ke Jogjakarta, Tuhan

Ini Jakarta dan saia tersesat di antaranya.
Idealisme bodoh yang mengkotak tiap tiap individunya.
Cuma bisa berpikir: saya yang di depan. Maka maaf kamu saya jatuhkan.

Saia juga bukan orang baik Tuhan,
karena saia masih sering berkata dengan suara lantang: saia orang baik kok, buktinya saia sabar.

Saia yang tersesat di Jakarta atau Jakarta yang menyesatkan saia?

Culik saia ke Jogjakarta, Tuhan.
Dan besok akan saia tebarkan potret manis masyarakat Jawa di Jakarta.

Setidaknya mereka hidup untuk memapah sesama. Bukan saling menebar risau.