Senin, 14 November 2011

25.09.2011.16.15

Tiket itu masih tersimpan apik di tas cokelat mudaku. Tempat dimana aku biasa mengemas senyummu untuk [lagi lagi] membukanya di rumah sebagai teman minum kopi. Tiap kali kubuka tasku, tiket itu menyembul keluar seolah memaksaku mengulang ingatan tentang sore itu dan sore sore lain yang telah kita lahap bersama.

Sore itu kita nonton... Ah, tidak begitu penting apa yang kita saksikan. Ini hanya tentang sore yang ingin kita habiskan. Pertunjukan itu hanya sebuah alasan. Bukan begitu, Tuan? Bahkan sesudahnya aku hanya komentar: filmnya kurang bagus. Karena aku tak menyimak isinya, sibuk membenahi isi hatiku.

Lalu sesudah itu, berbalur jus jeruk, bibir kami sibuk membincang tentang apa saja: juga tentang kuliah, kerja, nikah, aku, kamu, kacamata. Tak satupun yang ku tanggapi benar kecuali tentang alasan kenapa kau sempat "menghilang" tempo hari.

Aku tercekat, ketika hati yang sedari tadi, di teater 3 aku benahi [agar ketika akan ku ungkap dia tidak berebut keluar atau malah tersendat di pangkal lidah] harus kutelan bulat bulat ke dalam perut, jauh dari tempat yang harusnya kukembalikan lagi: ke dalam hati. Paham sudah aku tentang semua yang selama ini jadi pertanyaanku. Dan harusnya aku merasa beruntung tidak sampai jadi menelanjangi hatiku sendiri di depanmu, di depan jus jeruk kita yang tinggal separuh.

Katamu "Bahkan, padamu, aku waspada. Tidak ingin membuatmu berderai derai seperti lainnya.". Paham sudah aku.

Kemudian surat itu kusesapi jauh,, dan semakin jauh ke bawah bantal. Dimana bangkai dan kulit pisang terbuang di sana. Sampai aku benar benar yakin, suatu saat aku butuh surat itu untuk kutunjukkan padamu betapa aku merindu, aku tidak akan pernah menemukannya lagi. Atau akan kutemukan dengan sangat lusuh, bersampul mendung, berbau anyir.

Patah.

Kamis, 25 Agustus 2011

Dhurung Perang Kok Wes Nyerah


Sudah ku putar 13 kali cangkir kopi Nescafe merahku, padahal isinya robusta buatan Fabriek Koffie Aroma Banceuy. Sisa gilingan kasar kopinya nempel di bibir cangkir. Kuputar lagi ke kiri, belum sempat sampai ke titik awalnya, kubalik putar kekanan. Kupandangi lekat lekat corak cokelat pekat, sepat. Kupeluk kedua lututku cekat.


Entah apa yang kupikirkan sembari memandangi kopi sepatku yang sudah dingin itu. Dipojokan kamar di samping tempat tidur dimana aku biasa memimpikanmu. Mataku sesekali berpaling ke tembok, menyelingkuhi cangkir kopi dinginku. Keduanya: cangkir kopi dingin dan tembok, tidak bisa merangkum jadi satu semua pikiranku. Kadang teringat sepeda ontel karat punya Mbah, kadang teringat deadline majalah di kantor, kadang teringat komik Gundala, kadang memikirkanmu. Ya, saya tidak pernah bisa mengingatmu. Tapi memikirkan. Jauh lebih berat ketimbang sekedar mengingat. Ada beban tersendiri ketika tau tentangmu, tentang kisah cinta cinta-an ala mu.


Rasanya aku ingin jadi orang lain yang tidak perlu tau cerita ini. Jadi aku bebas lakukan apa saja yang aku mau. Merencanakan apa saja yang aku ingin kerjakan. Walau mungkin rencana rencanaku itu tidak akan aku laksanakan semuanya. Setidaknya aku punya mimpi yang ingin kukabuli sendiri.


Kalau begini, aku jadi orang yang ironi. Jadi punya ribuan alasan untuk tidak merencanakan apapun. Juga rencana untuk menambahkanmu pada daftar wishlist setelah kuliah dan sebelum Piaggio LX 150.


Aku punya bedil, tapi tidak boleh menggunakannya. Atau mengambil kesimpulan bahwa rasanya sia sia menghunus bedil padamu. Kau tidak akan mati oleh bedilku. Kira kira begitu. Kira kira kalau aku lakukanpun, rasanya akan sia sia.


Aku memutuskan untuk mundur teratur. Bukan mundur dengan kaki kanan, lalu disusul kaki kiri. Aku mundur dengan mengatur basahan basahan yang meleleh di ujung ujung mataku. Tak perlu kutunjukkan bendera putih itu padamu, kau tak perlu tau kalau aku berperang melawan inginku. Aku juga tidak serta merta menjadikan bendera putih itu sebagai alat seka lelehan itu, aku benar benar tidak ingin kau tau.


Aku memutuskan untuk mundur. Walau perang untuk merebutmu baru jadi rencana. Aku punya perang lain: perang melawan mataku. Aku menyerah, sudah tau bakal kalah.

Rabu, 24 Agustus 2011

Entah Kau Apa

Salahku memang, yang diam diam menyimpan rasa yang sebenarnya tidak lazim terbentuk. Aku jelas tau tentangmu:tentang siapa yang kau kagumi. Jelas aku tau itu. Sudahku ingatkan berkali kali pada diriku, dilarang jatuh cinta pada orang yang jelas jelas aku tau pada siapa hatinya bertaut. Kelak hanya kecewa yang akan aku jemput. Tapi siapa yang bisa mengendalikan rasa sejenis ini, pun aku.

Kau tau saat kau bercerita tentangnya, kita tertawa. Kadang aku semangatimu untuk tetap berdoa. Sebenarnya di sela perbincangan kita, terselip doa lain. Doa egoisku agar kau menyudahi percakapan menyayat hati yang harus tetap aku nikmati ini.

Sekeras kerasnya aku mencoba membohongi hati, bahwa ini hanya sekedar rasa mengagumi. Semakin keras aku mangkir, semakin hati retak tetak di pinggir. Aku roboh.

Sepanjang hari aku hanya bisa diam, membututi gerak gerikmu dari berbagai media sosial. Kadang tertawa, kadang diam, kadang ingin melemparmu dengan gelas, ketika kau menggambarkan sesuatu di media media itu. -kadang aku juga cemburu! Itu alasan kenapa aku ingin melemparmu dengan gelas.

Tapi sungguh, itu hanya "ingin" tidak pernah "akan", kau terlalu indah kalau hanya untuk kulempari gelas.

Pernah sekali waktu kita berbincang tentang masa depan, mungkin hanya 2-3 jam bersamamu. Sudah penuh otakku dengan berbagai pandangan dan wejangan tentang hidup seperti perbincangan 2-3 tahun. Kau benar benar menyita konsentrasiku. Apa kau tau juga, diam diam aku mencuri matamu.

Kita berbincang tentang berbagai hal, terakhir tentang... ah... hal kecil. Tapi menarik. Selalu kau buat hal apapun menjadi menarik untuk dibicarakan. Dan selalu tidak pernah kau buat aku bosan.


Untuk ini semua, aku minta maaf padamu. Untuk mata yang diam diam telah aku curi.
Juga minta maaf untuk bidadarimu, karena telah lancang mencuri mata pemujanya.
Walau aku tau pasti, bidadarimu tidak akan keberatan untuk itu. Kami berteman baik.
Maaf Matahari Jam Tujuh Pagi. Maaf.

Senin, 01 Agustus 2011

Shoibatul Aslameeyah


Tempo hari kita bertemu, kau nangis. Tapi aku tidak pernah bertanya atau terlintasi pertanyaan kenapa kau menangis. Aku malah tertawa. Kau raih tanganku, kau lepas lagi: menangis lagi. Aku tertawa lagi.


Empat belas tahun setelah itu, kita tidak lagi bertemu. Aku sudah tidak tahu lagi kabarmu. Belakangan kau sudah tidak pernah berkirim pesan. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu, kenapa Tuhan hanya beri kita waktu satu minggu untuk bertemu. Itu pun tidak ada sepotong kata yang keluar dari mulutmu. Aku hanya mendikte gerak bibirmu.


Satu Agustus ini kau berulang tahun, tepat di hari pertama puasa. Menghubungimu untuk mengajak buka puasa bersama, aku tak tau bagaimana caranya. Cukup saja ku ingat dalam hati kalau umurmu sekarang sudah bertambah 14 tahun sejak pertama kita bertemu. Diam diam aku kirim salam untukmu, pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tidak akan kehabisan cara untuk menyampaikan salamku untukmu.


Kalau kau ada di sini, bersamaku, bersama kami. Aku yakin kau sama persis dengan Halimatus Sa'dyah: sama tinggi, sama cantik, sama ceriwis. Persis. Kau juga pasti akan mengundang beberapa teman dekatmu untuk berbuka di rumah, persis seperti yang Dyah lakukan kemarin dirumah kita.


Tujuh hari setelah hari kelahiranmu, kau meninggalkan saudara kembarmu bermain sendirian. Apa kau tidak merasa kesepian, kalian di perut Ibu berduaan. Tapi Bapak berusaha meyakinkan Ibu dan kami, kakak kakakmu, bahwa kau punya tempat main baru di sana. Kau juga selalu menjaga dan menemani Dyah dari sana.


Sehari sebelum puasa, Bapak bilang tempatmu susah ditemukan. Mungkin karena hujan kemarin lusa yang membuat pusaramu tergerus rata dengan tanah. Tidak ada lagi gundukan. Tapi untung bapak masih menemukan nisan kayu kecilmu tertancap miring di ujung, dekat pusara Mbah. Secepatnya kami akan benahi rumahmu. Tempo hari kami memang ingin menyelimuti pusaramu dengan keramik, tapi dilarang oleh pengelola pemakaman. Kami hanya boleh menanam rumput.


Kalau kau masih hidup sampai sekarang, rumah kita pasti ramai. Tiap hari kita bercanda bahkan bertengkar, seperti aku bersama saudara kembarmu, Dyah. Kalian pasti akan sering main bersama atau nonton TV di rumah sambil saling mengepang rambut.


Selamat ulang tahun Ibah, kami merindukanmu. Kau tau apa yang di minta Dyah sebagai hadiah ulang tahunnya. Hanya dua bungkus sop buah, katanya untuk berbuka bersama temannya. Kemarin aku ngebut pulang ke rumah dengan dua bungkus es buah pesanan Dyah. Sungguh kalian sederhana, tapi mesra. Diam diam aku bilang cinta.


NB: Ceritakan padaku, Ibah. Bagaimana surga?

Selasa, 19 Juli 2011

#kopi

:: Pertama kali saya jijik ngeliat Bapak sama Mbah asik ngobrol minum cairan hitam pekat #kopi

:: Kata Bapak: Mau coba? | Iiiiiih.. gak. | #kopi

:: Bapak beli Coca Cola botol kecil. Isinya habis, bapak isi ulang dengan kopi. Saya gak tau: minum #kopi

:: Piiih..!!! Pait! Apaan nih? #kopi

:: Gimana rasanya? | Pait, sisanya bikin asem | #kopi

:: Bapak sering diem, baca koran, atau ngobrol sama Ibu sambil minum kopi #kopi

:: Waktu pengen cerita tentang kakak kelas yang aku taksir, aku coba bikin kopi: ngobrol sama Ibu #kopi

:: Saking serunya aku cerita sama Ibu, kopi jadi manis #kopi

:: Ibu bilang: Tua kamu, minum kopi | aku bilang: Tua? Kayak Bapak? #kopi

:: Kata Ibu: Ah,, kalo dibilangin malah ngebalikin | Ibu minum kopi-ku #kopi

:: Priiich... pih.. pih! Apa ini? Ampas kayu? *bubuk kopi ngambang di cangkir #kopi

:: Lain kali, kalo bikin kopi airnya harus yang mendidih. Aku belajar masak air #kopi

:: Kopi instan boleh langsung di seduh pake air termos. Kopi tubruk gini gak bisa. Aku belajar bikin singkong goreng #kopi

:: Kenapa baru sekarang itu Mahasiswa pada turun ke jalan?! | Emang kenapa sih Pak? | *Ganti channel #kopi

:: Itu almamatermu kok warnanya sama kayak almamater UI? | Sepupuan Pak | Oooh...| *balik halaman koran #kopi

:: Buka bungkusnya dan temukan hologram berhadiah langsung *jika beruntung #kopi

:: “Tinjauan Pembuatan Cover Novel Dwilogi pada Penerbit Java Media” | 02.18 #kopi

:: Bu! Aku masa percobaan tiga bulan Di Erlangga | Ampas kopi turun sempurna ke dasar gelas belimbing #kopi

:: Masuk angin itu Put. Ini bekamannya jangan kena air dulu ya selama 6 jam. Nih, sambil diminum KOPI RADIX-nya. Kata Mamah @nengshin #kopi

:: Bravo!, Choice, Menapak Jejak Amien Rais, Ruang desain Erlangga, Kopi Mas Eko #kopi

:: Kopi, Kopi, Kopi, Kamu, Kopi, Kopi, Kopi, Kamu lagi, habis itu Kopi #Kopi

:: Gak peduli lagi sama hologram berhadiah. Kopi di mejaku dibungkus papir tipis, bukan plastik. Robusta Giling Kasar asal Banceuy #kopi

:: Kau masih di urutan ke empat sehabis kopi, kopi, dan kopi #kopi

Senin, 11 Juli 2011

Selamat Pagi Bapak

Tadi, aku duluan lho yang bangun. Masih manis, sisa gurau kita kemarin sore. Satu yang bikin saya tergelitik, katamu: kalau sudah pensiun, Bapak mau buka gerobak nasi goreng. Ah Bapak, lha wong mie goreng instan merk baru yang aku belikan saja kau kuahi. Tapi kemudian kuyu. Tak bisa membayangkan kau pensiun. Saya rasa saya belum dan tidak mau membayangkan itu. Kita sudah sama sama tua ya Pak. Bedanya saya masih suka main di mall.


Kenapa ketika bercerita, tawa dan tangis itu beda tipis ya Pak? Saat saya mendengar ceritamu, saya tertawa sampai menangis dan menangis sambil tertawa. Kopi kita sampai dingin Pak, keasyikan bercerita. Berkerak dan bernoda.


Iya Pak,, cerita waktu kau melamar Ibu. Itu.... hahahahahaaa... kau suguhkan begitu renyahnya. Ketika itu kau baru lulus, Ibu nanti menyusul. Kau kumpulkan uang hasil kerja kontrakmu, tapi masih belum tau mau buat apa. Setelah Ibu lulus dan yakin kalau uang itu untuk melamarnya, kau malah memakainya untuk menguliahkan adikmu. Ibu ungu! Ahaha,, wajah ibu benar ungu. Ungu! Tapi bukan Bapak namanya kalau gak pandai merayu. Entah pakai ilmu apa, kau berhasil meyakinkan Ibu untuk menunggu. Kau janjikan bunga anggrek: Ungu. Demi kau Bu, kalau ada yang memberiku anggrek ungu, akan kusuruh dia berenang sampai Tidung!


Akhirnya, jadi juga kau melamar Ibu. Beradu pandang pada Mbah si Kakek sinis. Lagi lagi ilmu apa Pak? Dari siapa? Kau bisa meyakinkan Mbah kalau anak perempuan satu satunya itu bakal aman di tangan bujang sepertimu. Ah, saya yakin Mbah cuma malas main catur denganmu. Maka dia lepas anaknya dengan Qur'an, mukena, seperangkat bedak dan gincu.


Saya bilang: Ibu kau guna guna Pak? Dia langsung meniup tangannya dan membuat belahan di rambutnya: Ibu itu naksir berat sama saya, paling ganteng se-aliyah. Dilihat dari garis mukanya, sedikit banyak saya percaya. Gincu yang kau berikan sebagai iringan mahar tempo hari sudah tak tau ada di mana. Tapi bibir ibu masih tetap saja merah: delima.


Jelas seperti menonton film, aku bayangkan kau 25-30 tahunan yang lalu. Tapi aku tidak bisa bayangkan kau pensiun, Pak. Kau akan bercerita tentang 30-45 tahun lalu. Tentang kau dapat sepatu hanyut di pinggir pantai biru. Jangan pensiun dulu lha Pak,, saya janji akan mengenalkanmu pada si Pembawa Anggrek Ungu. Tapi nanti, kucari dulu.

Rabu, 06 Juli 2011

Tentang Bulan Tujuh



Hari ini hari ke enam Juli tapi sudah ribuan yang terjadi: ratusan untuk agenda kerja yang selaras, ratusan untuk perjalanan sederhana tiap hari, ratusan untuk mimpi yang satu malam saja bisa terpartisi berkali kali, dan sisanya untuk selaksa indah yang tidak sengaja kau titipkan di satu hari antara tanggal satu ke tanggal enam Juli.


Saya sangat setuju kalau manusia dicipta Tuhan bukan sebagai makhluk tau segala. Kau jadi tidak perlu tau apa yang saya rasakan, meski saya lima sentimeter saja disampingmu. Pun saya, terhadapmu. Saya suka menebak, saya suka menerka, meski kadang tebakan dan terkaan saya meleset. Saya hanya mau main tebak tebakan.


Kau tau, kadang menebak hatimu itu membuat saya senyum senyum sendiri. Apalagi menebak hati saya, makin seru jadinya karena saya bebas memberi warna pada berbagai kemungkinan: makin gila imajinasi saya!


Bulan bulan sebelumnya tidak begini, saudara. Biasa. Kau ya kau dengan berbagai keseruan hidup, saya ya saya dengan beragam cerita. Kita punya masing masing satu blocknote untuk kita gambari pelangi. Tapi ini Bulan tujuh, pelangi yang kau gambar di blocknote-mu nyasar ke blocknote-ku. Biru, ungu tanpa kelabu: kesengsem aku.


Jadi makin sering saya main tebak tebakan tentang saya, tentang kamu. Biar saya bikin cerita saya sendiri, kemudian minta acc ke Tuhan. Semoga Beliau tidak berkeberatan.

Senin, 04 Juli 2011

Gadis Gula Batu


Ah kata... Kau bisa begitu menusuk pada hati, begitu berkesan, begitu anggun

Tapi kadang kau tidak bisa melukiskan sesuatu: buntu. Seperti, seorang teman pernah menyebut gadis pujaannya sebagai Gadis Gula Batu. SEMPURNA! Kalau saya yang jadi wanita itu, betapa pipi saya tidak sempat pucat. Gadis,, diksi paling cantik buat menyebut perempuan: gambarannya seperti muda, ranum, dan bersemangat. Gula Batu: bahan pemanis alami yang memang manis dari janin; sangat manis; manis; begitulah.


Tapi kata apa yang bisa menggambarkan adam sepertimu? Yang senada Gadis, dan sejajar Gula Batu. Yang memang kau muda, ranum dan bersemangat. Yang memang manis tapi beringas. Ya, adam sepertimu. Saya bingung: sungguh. Apa kata yang bisa membuat mukamu bersemu memerah tapi tetap gagah. Ya seperti kau sekarang ini.


Sepertinya kata itu hanya bisa terwakilkan di imajiku. Tidak bisa terungkapkan. Kalau boleh, aku juga akan memanggilmu Gadis Gula Batu. Tak apa kau setara Gadis, Kau Gula, tapi juga Batu: Gadis Gula Batu.


Karena kau lelaki Gadis Gula Batu. Ah! Buntu!



*Renault Chaniago, kata katamu saya pinjam. Brilian!

Senin, 06 Juni 2011

Senja Berpelangi


Kau masih ingat Matahari,

surat yang aku bilang "tidak pernah terkirim"

Kali ini aku bulatkan untuk mengirimnya

: ke bawah bantal


Surat itu kuwangikan senyummu

Kuhiasi parau suaramu

Kupendam jauh di bawah bantal.

Bukan untuk menimbunmu dengan berbagai mimpi

Tapi ingin merangsekkan pucukmu ke dalamnya


Surat itu kian hari bertambah padat

Kusesaki dengan kalimat puja puji tentangmu

Dari pagi, siang, senja, malam, pagi

Sampai senja lagi yang berpelangi.


Kuingat sore itu kau mendungi aku

dengan selaksa murung

setelah kita dihujani sangka sangka buruk

pada kita sendiri


Aku berusaha bicara

cari setitik baik

dan berbagai pembelaan

tapi kau tidak percaya


Apalagi yang bisa kulakukan

pada hujan yang semakin deras

aku pikir aku hanya butuh diam


Hujan hampir tidak pernah berbohong

Kecuali waktu tiga malam lalu saat reda,

malah awan hitam yang menutupi


Reda memang harus ditunggu, dinanti

hingga datang pelangi

itu Tuhan, dan hujan punya janji


Surat itu kugambari Pelangi

Rabu, 20 April 2011

Sekalipun Saya bersanggul, Kau Tak Akan Tau

Hari ini saya lihat anak anak seumuran Sekolah Dasar bersolek dari pagi buta pakai kemben. Kebaya warna warni. Sanggul rupa bentuk. Hias hias wajah. Selop dan kelom hiasi kaki mereka. Ramai sorak sorai di jalan raya.


Betapa dari kecil mereka diajarkan untuk mengenali budaya.

Kartini, dari Jawa yang sedang berlimpah puja hari ini.

Dielu sebagai pembuka rantai kaki wanita yang konon sedari pagi terikat di kaki rak piring belakang rumah. Sosok yang konon paling lantang teriakkan emansipasi wanita.


Tapi hari ini pulalah saya merindu Khadijah. Wanita yang tidak pernah kita peringati hari lahirnya, tapi menjadi bagian dari sejarah dunia. Wanita yang ada di belakang Muhammad, suaminya. Seorang karir yang tak lupa fitrahnya sebagai seorang wanita. Dan sekaligus seorang istri.


Khadijah dijejali ke otak saya, jauh sebelum saya kenal kebaya: kenal Kartini.

Saya ingat ketika TPA (setara pendidikan anak usia dini, berbasis agama), saya diajarkan bernyanyi:


...

Nabimu.... prok prok prok!

Muhammad.

Istrinya.... prok prok prok!

Khadijah.

dan juga.... prok prok prok!

Siti Aisyah.

...


Khadijah berhasil menginspirasi saya. Mendoktrin bahwa sebenarnya wanita juga bisa menghidupi dirinya sendiri. Sekaligus mengingatkan meskipun begitu, wanita tetaplah makmum seorang ikhwan. Jauh lebih dulu dari apa yang baru kau lakukan. Dan lebih arif [jika saja wanita terkini tidak menginterpretasikan perjuanganmu se-bablas kini]


Dan Kartini, sekalipun saya bersanggul hari ini, orang orang tak akan tau.

Karena Khadijah mencontohkan saya berhijab.

Jumat, 18 Maret 2011

Ketika Berdua Bertelanjang Kaki


Hari itu Jumat, kita masih saja berlaga tidak saling kenal

Layaknya dua anak kecil yang diprovokasi orangtuanya yang bermusuhan

Aku suka batik hijaumu, baru

(mungkin juga sudah pernah kau pakai sebelumnya, aku tidak tau. Sebab dari kemarin lusa kita pura pura tak saling tau)


Sama kita pakai batik, yang lain juga

Punyaku merah disambangi hitam di sulir sulirnya

Kau hijau, sarimbit

Aku rasa aku bisa membayangkan batik untuk yang wanita


Dari dulu aku benci melihat hijau dan merah berpeluk dalam satu ruang

Begitu juga kata roda warna

Ah, hijau dan merah tidak mahromnya

Pun kita


Aku menyesali batik kita komplementer [?]

Sudah lah.... (aku mencoba menghibur diri)

Itu hanya batik


Aku angkat sedikit rok batikku

untuk membuka jalan pada kedua kakiku yang telanjang

Berjalan ke arahmu (sebenarnya ke arah pintu, tapi di situ ada kau)

Aku liat kau juga tergesa menuju pintu

Kakimu telanjang juga


Kedua kaki kita sama polosnya

menapak dingin dingin ubin

meraba debu debu sisa sepatu orang

hanya kaki kita yang telanjang


hanya kaki kita yang pasrah


hanya kaki kita yang jujur


hanya kaki kita yang berdebu


hanya kita yang pura pura dungu

Kamis, 03 Maret 2011

Sinetronisasi Sekali



Dari dulu saya tidak pernah suka sinetron, pun Tersanjung yang konon sampai seri ke 6. Saya benci melihat muka penuh pada TV, padat dengan becekan airmata dan bibir dipaksa gemetaran. *saya takut ikut menangis, larut dalam penghayatan sedih sedih buatan.


Padahal saya tidak punya pengalaman "Sensasi Menonton Sinetron" tapi saya tidak ragu menyebut yang saya alami sekarang adalah sebuah sinetronisasi. *tertawa


Mengamati hiruk pikuk ruang kerja dan jalanan. Memandangi kisah kisah yang lalu lalang. Tentang teman yang bertengkar dengan pacarnya. Tentang sahabat yang masih menyimpan rasa pada mantan pacarnya. Tentang teman akrab yang setelah sekian lama menunggu kemudian pada akhirnya mendapatkan. Tentang kawan yang (rupanya) menyelinap juga pada ruang ruang patah hati. *ikut menangis


Ya, saya ikut menangis. Walau mungkin tidak sampai gerimis. Hanya meringis, tipis. Tapi saya bisa menyimpulkan ini lah "Sensasi Menonton Sinetron", walau mungkin saya masih amatiran menghayatinya.


Ah! Betapa lucunya saya.

Sabtu, 26 Februari 2011

Finally, Saya Mengenalnya


Padahal sudah 23 tahun saya mendiami tubuh ini. Sempat Sembilan bulan sepuluh hari juga di dalam tubuh lain yang serupa. Tapi saya baru mengenalnya kemarin lusa. Betapa naif!
Selama ini saya hanya tau kami hanya bagian kecil dari pria, rusuknya saja. Selama itu pula saya coba menghibur diri, meneriakkan kalau kami bisa jadi mata! jadi tangan! atau bahkan tubuh!
Saya buktikan kalau kami tak melulu duduk dipojokan sambil melukis jendela, kalau saya bisa membentuk kusen kusennya sendiri. Saya terabas adat adat yang merantai telapak kaki saya, kabur dari dogma.

Ibu, saya lihat begitu anggun ketika tangannya mengibas kemeja basah Bapak dan menggantungnya di bawah mendung. Ketika celemeknya terpecik jelantah bekas menggoreng ikan. Ketika tidurnya seperti telah melepas ransel.

Saya tidak perlu membuktikan bahwa perempuan itu kuat. Karena esensinya memang begitu. Kalau airmata bukan indikasi dari kuat lemahnya seseorang, maka saya pikir perempuan lah yang lebih kuat.


ITU! sampai situ saya mengenal perempuan.
Naif.
Padahal ada yang lebih esensi dari sekedar mengklaim kehebatan perempuan.



Perempuan
empu: hormat, kehormatan
Per-empu-an: resapilah sendiri, akan lebih indah


*betapa banyak yang belum saya ketahui tentang diri saya sendiri. Betapa banyak yang perlu saya renungi. Terimakasih telah memberi pengertian berbeda pada sosok perempuan, Lelanang.




Kamis, 10 Februari 2011

Menangis [?]

Tadi siang ketika saya duduk sambil terpejam di sofa ruang tamu kantor.

Saya dengar suara sesegukan yang kemudian membangunkan saya.

Anak itu, mungkin 15 atau 16 tahun, masih kelas 2 SMA

Dari Malang, Praktik kerja di kantor saya.

Bersembunyi di balik punggung teman kerja saya yang duduk di samping saya

: menangis


Saya pikir dia kangen Bapak Ibunya di Malang.

Ternyata alasan dia menangis hanya karena satu hal sepele menurut saya

Dia putus cinta dengan kekasihnya.


Ya, saya bilang sepele buat saya.

Karena itu sama sekali bukan saya yang merasakan.

Saya tidak dapat imbas atau dampak apapun dari kerunyaman kisahnya.


Saya tidak komentar ketika dia sambil terpatah patah

mengatakan sebab dia menangis

[terus terang, kalau saya boleh berkomentar dan kalau orang orang tidak tersinggung dengan komentar saya, saya ingin sekali bilang:

apa yang kau tangisi? alasanmu menangis kali ini sangat aneh!]


Betapa tidak, menangis hanya karena putus cinta di umur yang baru 16an.

Apa yang bisa dia jadikan alasan kuat untuk menangis?

CInta? Ah rasanya terlalu dini bicara cinta di kondisi psikologis yang masih labil.


Maaf ya anak muda, kalau kau berpendapat saya tidak punya perasaan.

Saya juga pernah mengalami usia 16 dan juga mengalami hal yang sama.

Saya juga pernah menangis, malah lebih basah darimu.

Dengan alasan yang sama sepertimu. Sama persis.


Entah kenapa setelah sekarang saya duapuluhtiga, saya merasa tangisan saya tujuh tahun yang lalu itu bodoh. Sangat bodoh.

Apa yang ada dibenak saya tentang cinta 16 tahun?

Romantisme masa kanak kanak yang terlalu naif jika terlalu beradu dengan perasaan.

Kecuali saat umur segitu saya sudah dikawinkan, wajar kalau saya bicara tentang cinta dan mungkin menangisinya.


Duapuluhtigapun saya pernah menangis, meskipun tidak sesengukan seperti dulu.

Saya merasa sayang melunturkan air mata hanya karena pria [dalam hal ini, cinta]

Sebelum saya benar benar punya alasan logis untuk menangis, saya enggan.

Sampai pada saatnya pun saya menangis di duapuluhtiga

Mungkin Ibu yang akan berujar:



Tangisanmu BODOH!





*mungkin karena Ibu sudah matang dalam urusan cinta. Sudah bisa memilah mana yang penting dan tidak penting untuk ditangisi.

Dari situ saya menarik simpulan, semakin kita melihat ke belakang, semakin cinta seperti yang sedang kita bicarakan ini adalah anak tangga yang di bawah, lupakan saja.



[tapi saya maklum tangismu tadi, anak muda. saya juga pernah begitu. Jangan khawatir]

Sabtu, 05 Februari 2011

Minggu, 23 Januari 2011

Kalau Ngambek, Jangan Begitu

Matahari, lagi lagi kau buat aku emosi.
Pada hari yang terik menguliti raga.
Pada senja yang terlalu cepat tiba.

Waktu kita sempit, Matahari.
Untuk bicara di pinggir kolam ikan buatan
dan melayang pada latar cerita yang kita karang sendiri.

Tapi anehnya kita sangat menikmati
tiap cerita yang rekayasa.
Kita tertawa sejadinya
Menangis layaknya nyata.

Sekali aku ingatkan padamu,
ini tidak ada untungnya.
Berdua mendustakan cerita.
Bohong bohong saja.

Kamu langsung pergi
Meninggalkan sepatumu di tepi kolam.
Meninggalkan aku yang belum sempat
memberi terang pada maksudku.

Matahari, aku bukan benci ritual kita bercerita
Bukan bosan dengan cerita yang itu itu saja.
Tapi aku benci berdusta.
Kenapa tak kita ubah cerita ini jadi nyata.
Agar kelak yang nyata bisa kita jadikan sejarah.
Dan bisa kembali kita ceritakan
pada pinggir kolam yang bukan buatan.

Jangan begitu, Matahari.
Dengar dulu aku berjanji.


-PN-

Rabu, 05 Januari 2011

Timbul, Diam, dan Tenggelam

Apa yang bisa saya simpulkan dari dua jam pertemuan kita di ujung Tidung pagi itu?
Dari subuh menggoes sepeda ontel karat ke tepi pantai berpagar pohon Ketapang yang angkuh, sombong tak membalas goyangan empas angin.
Matamu menunjuk langit yang melukis aurora. Bentukan warna sesukanya, tapi manis. Saat matahari menoreh sinar kekuningan. Mula mula mengintip dari ujung laut dan membelalak. Mata kita kalah.
Tangan saya iseng mengambil buah ketapang yang rontok, layu di atas pasir basah. Tanpa arah, saya lempar ke tengah lautan. Sama sekali bukan bermaksud melempari matahari. Tanganmu juga sama-maksud kita juga sama.


Lombok itu indah 'Nduk.
Kau memulai drama kita.
Ya... meskipun di sini juga indah.

Mbah pernah ke sana?

Saya pernah menetap di Nusa Tenggara. Saya memuji Lombok seadanya saja. Tapi ya itu adanya: bagus.
Kapan kapan boleh lha ke sana.

Kita masih ada saudara yang menetap di sana, Mbah?

Sepertinya sudah semua pindah.
Tapi jangan ragu untuk mampir ke sana, Nduk. Nanti kita buat ronce cangkang kerang untuk tirai kamarmu. Atau cuma menghabiskan waktu seperti pagi ini. Menatap matahari.

Lombok di mana sih Mbah? Kalo mau kesana, bisa jalan kaki?

Jauh, Nduk. Nanti besar sedikit juga kamu tau.

Terus kita ke sananya gimana, Mbah?
Bisa pake perahunya Mamak?

Gak bisa, harus pakai perahu besar atau pakai kapal terbang.

Kapal terbang, Mbah? Aku kan gak punya uang.

Nanti juga punya.



Apa artinya percakapan kita yang ditonton matahari pagi?
Saya sudah punya uang. Lalu kapan kita ke Lombok?
Egois, kau pergi duluan. Sudah punya Lombok sendiri.
Mana janji kita meronce kerang?
Kapan pagi kita bisa duduk seperti ini di Gili Trawangan?

Demi Lombok dan kerang yang hendak kita ronce jadi sebuah tirai.
Rasanya ingin saya tagih janjimu besok pagi.
Ke Lombok, kita akan mandi.
Saya sesungutan kalau kau tidak datang.

Tapi pagi tetap saja pagi. Meskipun kau sudah pergi, Mbah. Pagi tetap pagi.
Saya tetap mandi.

Pagi, Idul Fitri kemarin. Saya kembangi pasirmu.
Pinggir Tidung.
Saya bisiki janji kita, tapi tanpa sesungutan.

Sebenarnya saya tidak perlu ke Lombok.
Tidung saja sudah cukup, untuk membayangkan Lombok tergambar di atas air laut.

Saya kangen Mbah.





*untuk Bapaktua Amien, di surga.