Senin, 01 Agustus 2011

Shoibatul Aslameeyah


Tempo hari kita bertemu, kau nangis. Tapi aku tidak pernah bertanya atau terlintasi pertanyaan kenapa kau menangis. Aku malah tertawa. Kau raih tanganku, kau lepas lagi: menangis lagi. Aku tertawa lagi.


Empat belas tahun setelah itu, kita tidak lagi bertemu. Aku sudah tidak tahu lagi kabarmu. Belakangan kau sudah tidak pernah berkirim pesan. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu, kenapa Tuhan hanya beri kita waktu satu minggu untuk bertemu. Itu pun tidak ada sepotong kata yang keluar dari mulutmu. Aku hanya mendikte gerak bibirmu.


Satu Agustus ini kau berulang tahun, tepat di hari pertama puasa. Menghubungimu untuk mengajak buka puasa bersama, aku tak tau bagaimana caranya. Cukup saja ku ingat dalam hati kalau umurmu sekarang sudah bertambah 14 tahun sejak pertama kita bertemu. Diam diam aku kirim salam untukmu, pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tidak akan kehabisan cara untuk menyampaikan salamku untukmu.


Kalau kau ada di sini, bersamaku, bersama kami. Aku yakin kau sama persis dengan Halimatus Sa'dyah: sama tinggi, sama cantik, sama ceriwis. Persis. Kau juga pasti akan mengundang beberapa teman dekatmu untuk berbuka di rumah, persis seperti yang Dyah lakukan kemarin dirumah kita.


Tujuh hari setelah hari kelahiranmu, kau meninggalkan saudara kembarmu bermain sendirian. Apa kau tidak merasa kesepian, kalian di perut Ibu berduaan. Tapi Bapak berusaha meyakinkan Ibu dan kami, kakak kakakmu, bahwa kau punya tempat main baru di sana. Kau juga selalu menjaga dan menemani Dyah dari sana.


Sehari sebelum puasa, Bapak bilang tempatmu susah ditemukan. Mungkin karena hujan kemarin lusa yang membuat pusaramu tergerus rata dengan tanah. Tidak ada lagi gundukan. Tapi untung bapak masih menemukan nisan kayu kecilmu tertancap miring di ujung, dekat pusara Mbah. Secepatnya kami akan benahi rumahmu. Tempo hari kami memang ingin menyelimuti pusaramu dengan keramik, tapi dilarang oleh pengelola pemakaman. Kami hanya boleh menanam rumput.


Kalau kau masih hidup sampai sekarang, rumah kita pasti ramai. Tiap hari kita bercanda bahkan bertengkar, seperti aku bersama saudara kembarmu, Dyah. Kalian pasti akan sering main bersama atau nonton TV di rumah sambil saling mengepang rambut.


Selamat ulang tahun Ibah, kami merindukanmu. Kau tau apa yang di minta Dyah sebagai hadiah ulang tahunnya. Hanya dua bungkus sop buah, katanya untuk berbuka bersama temannya. Kemarin aku ngebut pulang ke rumah dengan dua bungkus es buah pesanan Dyah. Sungguh kalian sederhana, tapi mesra. Diam diam aku bilang cinta.


NB: Ceritakan padaku, Ibah. Bagaimana surga?