Selasa, 21 Desember 2010

Teruntuk Anak Kesayangan Emak

Anak Kesayangan Emak itu pernah membuat sebuah post pada blognya tentang blog saya. Saya rasa tidak berlebihan kalau post saya kali ini saya persembahkan untuk dia.

Kalau Emak masih di sini, pangkuannya pasti basah airmata: airmata Anak Jagoan Emak. Tentang rindu yang berkecamuk, tentang sesal yang mengamuk, tentang hati hati yang remuk. *dan pasti pipi Emak ikut basah juga.

Itu anakmu 'Mak, yang mengaku jagoan, jatuh limbung belakangan ini. Tentang Nona yang tidak seksama membaca blognya. Tentang rusuk yang tidak menemui[tuan]nya.
Dia jagoan, akunya. Saya percaya. Tapi Gatot Kaca juga menyimpan tissue dilipatan kainnya. Saya percaya.

Dia pernah bilang pada saya: Jatuh cinta itu biasa, remuk juga biasa.
Tapi saya tau 'Mak, dia mencoba untuk terbiasa.

Saya menawarkan tissue padanya, dia menolak.
Dia bilang dia sudah punya, sisa makan Magnum kemarin.
Saya menawarkan telinga untuk mendengar, dia bilang tidak perlu.
Dia sudah membawa pensil dan kertas.
Saya menawarkan sebidang bahu, dia tertawa lepas.
"mana kuat bahumu, anak kecil."

Akhirnya saya menawarkan diri untuk pulang.
Dia setuju.
Dia bilang dia jagoan. Saya setuju.

Anakmu sombong, Emak. Tapi wajar, dia jagoan.
Saya baru kenal beberapa waktu dengan jagoanmu 'Mak, tapi sudah belajar banyak.
*mudah mudahan dia tidak menagih uang les atas pembelajaran yang diam diam dia sematkan pada ujung kening saya.
Bahkan saat dia remuk, saya masih tega menyadap ilmu ikhlas darinya. [Juga dari Nona yang membuatnya remuk]

Tentang roman yang kami anggap norak. Tentang cinta yang tidak ubahnya sarapan, berlangsung begitu hampir setiap pagi. Tentang asmara layaknya kereta, bergulir hanya pada lajurnya. Semua biasa.

Saya tidak ragu meninggalkan dia pulang. Dia sudah jagoan sebelum saya datang. [bahkan sebelum Nona menyerang].

Anak Emak yang Jagoan, saya bisa bilang apa lagi?
Mau menyuruhmu sabar, kau sudah khatam. Mau memintamu ikhlas, kau sudah duluan. Mau menyemangatimu agar kuat, kepalanmu lebih bulat.

Kamis, 16 Desember 2010

Randu

Ribuan tulisan bisa saya buat
Hanya dalam hitungan menit
Kalimat mengalir
Walau hanya berakhir
jadi sebuah prosa

Tiap tiap yang dia lakukan
Mampu saya lukis sempurna
Pada sebuah kata

Saya berbuah

N [sebut saja begitu, seperti guru matematika menggunakan huruf n sebagai ganti titik titik]
sepenuhnya memonopoli otak
Dan membudaki jari jari
: untuk membuat puisi

Setumpuk romansa
yang kemudian semu
Hilang saja layaknya abu


Tapi Anda
Saya memanggilmu Randu
Tidak mampu menyeret saya
Sekalipun
Untuk membuat sebuah puisi
atau hanya sekedar prosa


Entah apa yang terjadi
Saya tidak bisa menafsirkan
Jadi novel, cerpen, puisi,
bahkan hanya jadi sekedar senandung


Saya tidak bisa menguraikan
Sedikitpun dari apa apa yang telah kita lewati
Anda tak terjabarkan

Atau memang saya sudah kehabisan kata
untuk bisa mendeskripsikan Anda.
Saya jadi miskin kata!

Sabtu, 04 Desember 2010

Dan, Ibu

Pagi itu saya masih tidur

[beralasan karena seminggu kemarin lembur]

Saya intip Ibu dari celah mata yang menyipit

Ibu sibuk.


Ibu membawa solatip hitam dan gunting

Berjalan tergesa

Ibu membetulkan gagang pel

yang patah lehernya


Saya masih pura pura tidur


Kemudian Ibu membawa tang dan obeng

Berjalan tergesa

Ibu membetulkan kompor minyak tanah

yang sumbunya tenggelam di tabung besi porosnya


Saya masih pura pura


Lalu Ibu membawa kawat dan tali rapia

Berjalan tergesa

Ibu membetulkan jemuran besi

yang patah tengahnya


Saya tidak tidur, tapi pura pura


Ibu tidak membawa apa apa

Sama sekali tidak tergesa

Mengharum, kamar saya yang sedari tadi apak: bau dosa

Ibu membetulkan selimut tidur saya


Saya bertelaga, pada sudut mata yang menyipit

Pada mata yang masih pura pura

[sedang, Ibu betapa jujurnya]