Kamis, 25 Agustus 2011

Dhurung Perang Kok Wes Nyerah


Sudah ku putar 13 kali cangkir kopi Nescafe merahku, padahal isinya robusta buatan Fabriek Koffie Aroma Banceuy. Sisa gilingan kasar kopinya nempel di bibir cangkir. Kuputar lagi ke kiri, belum sempat sampai ke titik awalnya, kubalik putar kekanan. Kupandangi lekat lekat corak cokelat pekat, sepat. Kupeluk kedua lututku cekat.


Entah apa yang kupikirkan sembari memandangi kopi sepatku yang sudah dingin itu. Dipojokan kamar di samping tempat tidur dimana aku biasa memimpikanmu. Mataku sesekali berpaling ke tembok, menyelingkuhi cangkir kopi dinginku. Keduanya: cangkir kopi dingin dan tembok, tidak bisa merangkum jadi satu semua pikiranku. Kadang teringat sepeda ontel karat punya Mbah, kadang teringat deadline majalah di kantor, kadang teringat komik Gundala, kadang memikirkanmu. Ya, saya tidak pernah bisa mengingatmu. Tapi memikirkan. Jauh lebih berat ketimbang sekedar mengingat. Ada beban tersendiri ketika tau tentangmu, tentang kisah cinta cinta-an ala mu.


Rasanya aku ingin jadi orang lain yang tidak perlu tau cerita ini. Jadi aku bebas lakukan apa saja yang aku mau. Merencanakan apa saja yang aku ingin kerjakan. Walau mungkin rencana rencanaku itu tidak akan aku laksanakan semuanya. Setidaknya aku punya mimpi yang ingin kukabuli sendiri.


Kalau begini, aku jadi orang yang ironi. Jadi punya ribuan alasan untuk tidak merencanakan apapun. Juga rencana untuk menambahkanmu pada daftar wishlist setelah kuliah dan sebelum Piaggio LX 150.


Aku punya bedil, tapi tidak boleh menggunakannya. Atau mengambil kesimpulan bahwa rasanya sia sia menghunus bedil padamu. Kau tidak akan mati oleh bedilku. Kira kira begitu. Kira kira kalau aku lakukanpun, rasanya akan sia sia.


Aku memutuskan untuk mundur teratur. Bukan mundur dengan kaki kanan, lalu disusul kaki kiri. Aku mundur dengan mengatur basahan basahan yang meleleh di ujung ujung mataku. Tak perlu kutunjukkan bendera putih itu padamu, kau tak perlu tau kalau aku berperang melawan inginku. Aku juga tidak serta merta menjadikan bendera putih itu sebagai alat seka lelehan itu, aku benar benar tidak ingin kau tau.


Aku memutuskan untuk mundur. Walau perang untuk merebutmu baru jadi rencana. Aku punya perang lain: perang melawan mataku. Aku menyerah, sudah tau bakal kalah.

Rabu, 24 Agustus 2011

Entah Kau Apa

Salahku memang, yang diam diam menyimpan rasa yang sebenarnya tidak lazim terbentuk. Aku jelas tau tentangmu:tentang siapa yang kau kagumi. Jelas aku tau itu. Sudahku ingatkan berkali kali pada diriku, dilarang jatuh cinta pada orang yang jelas jelas aku tau pada siapa hatinya bertaut. Kelak hanya kecewa yang akan aku jemput. Tapi siapa yang bisa mengendalikan rasa sejenis ini, pun aku.

Kau tau saat kau bercerita tentangnya, kita tertawa. Kadang aku semangatimu untuk tetap berdoa. Sebenarnya di sela perbincangan kita, terselip doa lain. Doa egoisku agar kau menyudahi percakapan menyayat hati yang harus tetap aku nikmati ini.

Sekeras kerasnya aku mencoba membohongi hati, bahwa ini hanya sekedar rasa mengagumi. Semakin keras aku mangkir, semakin hati retak tetak di pinggir. Aku roboh.

Sepanjang hari aku hanya bisa diam, membututi gerak gerikmu dari berbagai media sosial. Kadang tertawa, kadang diam, kadang ingin melemparmu dengan gelas, ketika kau menggambarkan sesuatu di media media itu. -kadang aku juga cemburu! Itu alasan kenapa aku ingin melemparmu dengan gelas.

Tapi sungguh, itu hanya "ingin" tidak pernah "akan", kau terlalu indah kalau hanya untuk kulempari gelas.

Pernah sekali waktu kita berbincang tentang masa depan, mungkin hanya 2-3 jam bersamamu. Sudah penuh otakku dengan berbagai pandangan dan wejangan tentang hidup seperti perbincangan 2-3 tahun. Kau benar benar menyita konsentrasiku. Apa kau tau juga, diam diam aku mencuri matamu.

Kita berbincang tentang berbagai hal, terakhir tentang... ah... hal kecil. Tapi menarik. Selalu kau buat hal apapun menjadi menarik untuk dibicarakan. Dan selalu tidak pernah kau buat aku bosan.


Untuk ini semua, aku minta maaf padamu. Untuk mata yang diam diam telah aku curi.
Juga minta maaf untuk bidadarimu, karena telah lancang mencuri mata pemujanya.
Walau aku tau pasti, bidadarimu tidak akan keberatan untuk itu. Kami berteman baik.
Maaf Matahari Jam Tujuh Pagi. Maaf.

Senin, 01 Agustus 2011

Shoibatul Aslameeyah


Tempo hari kita bertemu, kau nangis. Tapi aku tidak pernah bertanya atau terlintasi pertanyaan kenapa kau menangis. Aku malah tertawa. Kau raih tanganku, kau lepas lagi: menangis lagi. Aku tertawa lagi.


Empat belas tahun setelah itu, kita tidak lagi bertemu. Aku sudah tidak tahu lagi kabarmu. Belakangan kau sudah tidak pernah berkirim pesan. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu, kenapa Tuhan hanya beri kita waktu satu minggu untuk bertemu. Itu pun tidak ada sepotong kata yang keluar dari mulutmu. Aku hanya mendikte gerak bibirmu.


Satu Agustus ini kau berulang tahun, tepat di hari pertama puasa. Menghubungimu untuk mengajak buka puasa bersama, aku tak tau bagaimana caranya. Cukup saja ku ingat dalam hati kalau umurmu sekarang sudah bertambah 14 tahun sejak pertama kita bertemu. Diam diam aku kirim salam untukmu, pada Tuhan. Aku yakin Tuhan tidak akan kehabisan cara untuk menyampaikan salamku untukmu.


Kalau kau ada di sini, bersamaku, bersama kami. Aku yakin kau sama persis dengan Halimatus Sa'dyah: sama tinggi, sama cantik, sama ceriwis. Persis. Kau juga pasti akan mengundang beberapa teman dekatmu untuk berbuka di rumah, persis seperti yang Dyah lakukan kemarin dirumah kita.


Tujuh hari setelah hari kelahiranmu, kau meninggalkan saudara kembarmu bermain sendirian. Apa kau tidak merasa kesepian, kalian di perut Ibu berduaan. Tapi Bapak berusaha meyakinkan Ibu dan kami, kakak kakakmu, bahwa kau punya tempat main baru di sana. Kau juga selalu menjaga dan menemani Dyah dari sana.


Sehari sebelum puasa, Bapak bilang tempatmu susah ditemukan. Mungkin karena hujan kemarin lusa yang membuat pusaramu tergerus rata dengan tanah. Tidak ada lagi gundukan. Tapi untung bapak masih menemukan nisan kayu kecilmu tertancap miring di ujung, dekat pusara Mbah. Secepatnya kami akan benahi rumahmu. Tempo hari kami memang ingin menyelimuti pusaramu dengan keramik, tapi dilarang oleh pengelola pemakaman. Kami hanya boleh menanam rumput.


Kalau kau masih hidup sampai sekarang, rumah kita pasti ramai. Tiap hari kita bercanda bahkan bertengkar, seperti aku bersama saudara kembarmu, Dyah. Kalian pasti akan sering main bersama atau nonton TV di rumah sambil saling mengepang rambut.


Selamat ulang tahun Ibah, kami merindukanmu. Kau tau apa yang di minta Dyah sebagai hadiah ulang tahunnya. Hanya dua bungkus sop buah, katanya untuk berbuka bersama temannya. Kemarin aku ngebut pulang ke rumah dengan dua bungkus es buah pesanan Dyah. Sungguh kalian sederhana, tapi mesra. Diam diam aku bilang cinta.


NB: Ceritakan padaku, Ibah. Bagaimana surga?