Senin, 28 Mei 2012

Beat Merah Sang Gatot Kaca


Dari SMA gw pengen banget punya motor. Motor apa aja asal nyaman dan aman buat dikendarain. Tujuannya sih satu, bukan buat gaya-gayaan atau pamer tunggangan. Tapi biar kalo gw kemana-mana itu gak ngandelin orang. Bahkan dulu gak kepikiran buat punya motor anyar. Cita-cita gw itu dulu bayarin 1 vespa abang gw, berharap dia lepas 3 jutaan.

Akhirnya Bapak DP-in matic Mio, buat gw sama adek gw. Tapi tetep repot, karena kadang kita butuh pake motor barengan. Karena sering ribut rebutan motor, mungkin Tuhan punya cara lain mendamaikan kami. Mio kami ilang tepat sebulan mangkrak di rumah. Demi Neptunus gw kesel banget sama adek gw lantaran dia teledor, motor kami ilang.

Sebulan kerja di ERL, gw putuskan untuk cicil beli motor. Cowok gw [waktu itu] bilang jangan dulu. Dia bersedia anter dan jemput gw. Tapi kan dari dulu gw udah bilang, mau punya motor itu biar gak ngandelin orang. Jadi gw bulatkan tekad buat beli motor.

Gw liat-liat katalog. Entah kenapa, gw langsung JATUH CINTA BANGET sama motor ini. Bukan, bukan Beat, Piaggio MP3. [ya iyalah *toyor*]. Tapi Ibu Bapak gw gak setuju. Katanya Piaggio MP3 bukan orang Jawa, jadi mereka kurang sreg, *eh bukan deng. Piaggio MP3 itu susah masuk rumah gw, pintunya cuma muat 2 orang. Jadi gw cari motor laen aja.

Satria, nonggeng naeknya. Vixion, gak nyampe. Jialing, udh gak keluar. Mio, trauma ilang lagi. Pilihan gw jatuh pada Vario atau Beat. @mellycupy punya Vario lebih dulu, @nengnidia Beat. Diem-diem gw amati. Beat lebih ramping, gw mikir yang gampang aja markirnya. Karena gw kecil dan Vario agak besar, gw putuskan untuk "nembak" Beat aja. Nah, sekarang gw bingung pilih warnanya.

Nah soal warna, Beat ada yang kuning gading, putih, pink, biru, item, dan merah. Gw suka yang Pink! Demi Neptunus! Tapi si @nengnidia udah punya, gak asik dong kalo kami kembaran. Nanti ga bisa tuker pakai. Akhirnya gw pilih #beatmerah. Dari pertama Bapak punya Suzuki GX 2 Tak sampe punya Revo anyar, semua motornya warna merah. Gw jadi ikut2an. Kata Bapak, kalo bukan item atau merah, rasanya bukan motor. *maaf @nengnidia *ngumpet :DDD

Tanpa menunda waktu, #beatmerah di katalog pindah ke rumah. Girang bukan kepalang ketika gak lama, dapet STNK berukirkan nama gw. Tapi Bapak ngingetin beliau gak akan ngasih toleransi pembayaran #beatmerah di 17 bulan ke depan, semua tanggung jawab gw.

Saking girangnya, gw iyain aja. Ambil cicilan paling pendek yang berarti bulanannya cukup mahal. Kegirangan gw berubah kecemasan. Bulan-bulan pertama punya #beatmerah adalah juga bulan2 pertama gw kerja. Gw kelimpungan ngatur keuangan. Niatnya klo udah kerja pengen punya Chanel atau LV atau sekedar blush on Oriflame harus pupus dulu *lebay*

Di bulan ke dua, gw beri nama #beatmerah dengan Gatot Kaca. Karena tulangnya memang dari besi. Gak pernah gw biarkan #beatmerah gw lecet bahkan kotor. Tahun pertama gw gak pernah percayain orang lain [bahkan] untuk cuci motor gw. I do by myself! Suka dan duka, panas dan hujan, gw lewati bersama dengan #beatmerah gw, si Gatot Kaca. Kami semakin intim.

17 bulan sudah keintiman itu kami lewati bersama. Di bulan ini dia berjanji akan menyerahkan sepenuh dirinya pada gw. Akhirnya di bulan ke-17 ini gw lunasi mahar gw. #beatmerah sepenuhnya kini jadi milik gw. Kami muhrim sekarang. MUHRIM!! Demi Neptunus juga, gak akan ada yang bisa memisahkan kami. Gw dan #beatmerah. [kecuali Piaggio LX 150] #eh. Gak, gak, boong *usap2 #beatmerah.

Jadi tadi pagi adalah ikrar sehidup gak semati gw sama #beatmerah. Disaksikan oleh Pak Iman sang pegawai dealer yang mengisi kolom cicilan ke-17. Surat-surat sedang diurus. Bukan kami gak percaya ikrar kami, tapi surat-surat memang penting. BPKB #beatmerah sebagai bukti dia milik gw yang sah. SAH!!! Semoga Tuhan selalu menjaga kemesraan kami. Gw dan #beatmerah. *diam2 gw bisikkan terimakasih karena telah setia mengantar gw kemana-mana.*



Rabu, 09 Mei 2012

Aku Segera Menikah


Sore itu kami janji bertemu disebuah pusat perbelanjaan di pinggir kota. Di bioskop yang kami sebut 21. Rencananya mau nonton film terbaru dari serial komik yang kemudian difilmkan. Aku janji tiba lebih dulu di sana, janji untuk membeli tiket buat kami berdua.

Enam puluh menit sebelum sampai di 21. Aku sibuk memilah baju apa yang ingin aku pakai: Kaos putih polos dengan rok denim. Blus dengan jeans biru tua. Cardigan pink susu dengan rok panjang broken white.
-Kaos polos abu-abu, denim overall skirt warna hitam, jeans hitam.-
Fix. Aku meluncur dengan vespa merahku. Aku hitam dan kelabu. Kau... Aku belum tau. Kita janji bertemu.

"Aku menunggumu di pintu. Di dalam kaos polos abu-abu." -draft
"FYI. Parkiran Junction penuh banget." -sent

"Dah dmn?"
"Gue di parkiran"
"Menuju situ"

"Iya lg antre tiket"
"Jam 17.45 abis. Mau yg jm 20.30?"

"Ya boleh"

"Okeh"

Pukul 16.15 aku sudah sampai di sana. Di tempat janjian kita. Sepuluh menit kemudian kau sudah tiba. Tak kusangka kau juga dalam hitam. Sudah terpuaskan rasa ingin tauku tentang baju apa yang kau pakai.

Masih dua setengah jam lagi film kita dimulai. Bingung menghabiskan waktu dimana, kita memutuskan untuk minum kopi di Black Canyon Coffee. Kau yang pilih untuk duduk di sofa depan cafe sambil menyaksikan Moto GP. Kita berbincang tentang diam. Sesekali tentang rokok, cokelat, dan sakit gigi -juga sakit hati-.

Kau bilang, orang orang yang sukses berawal dari sakit hati. "Lihat saja Adele, Mozart, Einsten..." kau berkata menggebu gebu. "van Gogh." aku menambahkan. "Betul, betul sekali."

Aku bilang, sakit gigi jauh lebih sakit ketimbang sakit hati. Karena sakit gigi tidak bisa dibagi dengan orang lain, sakit hati bisa. Kau tidak setuju. karena kau bilang sakit gigi bisa sembuh dengan Ponstan, sakit hati tidak. Kita memang selalu berselisih pendapat. Selalu begitu. Kau tau betul membuat diskusi jadi lebih hidup. Membuat obrolan jadi panjang.

Sekian jam berlalu. Tiket yang sudah ku kantongi kuserahkan di pintu masuk teater 4 agar kami diperbolehkan masuk ke ruang pemutaran film. N9 dan N8, deret depan, membuat kami sedikit dongak untuk menyaksikan film. Tak apa, aku sudah terbiasa dalam suasana tidak enak jika bersamamu.

Dua setengah jam kita habiskan untuk duduk di ruang gelap yang berpendingin. Menyuguhkan suara dan gambar bergerak. Menyiratkan kenyamanan untuk tidak mau beranjak.


Seperti biasa, seperti hari hari janji temu kita sebelumnya. Aku selalu berharap punya banyak waktu untuk lebih lama bersamamu. Membincangkan apa saja, berkomentar tentang siapa saja. Hingga pagi pun mau, bila oh denganmu. Karena ku selalu... Senang bersamamu... kira kira begitu kata Naif. -bullshit!- Jelas ini masalah hati, masalah kagum padamu yang berlebihan sampai akhirnya salah terapan.


Aku sadar betul aku salah paham tentang kita. Dan aku yakin kau pun sudah paham. Tapi aku pura pura alpa. Menganggap pertemuan pertemuan kita itu biasa saja. Aku lelah. Tapi seperti snorkling, lelah setelah bergulat dengan air laut dan ombak tidak membuatku lantas kapok untuk nanti datang lagi. Terjun lagi ke laut untuk menikmati indah dunia di bawahnya. Seperti junkies yang menganggap sakit adalah nikmat sesungguhnya.

Kami memutuskan untuk pulang setelah itu. Hari sudah terlalu malam, pukul 22.15 saat kita keluar ruang pertunjukan. Aku juga sudah tidak kuat menahan kantuk. Kami berpisah. Aku lelah. Hatiku lelah.


"Sayang, dari tadi kamu aku hubungin gak bisa. HP kamu kenapa? Ini aku mau nanya, list temen2 kamu yang mau diundang siapa aja?" sender: Ari.

Tap OK to shutdown your phone

OK



Minggu, 12 Februari 2012

Berbincang Dalam Diam

Aku punya satu tiket lagi darinya. Tiket pertunjukan tari kolaborasi di salah satu bengkel seni di pinggiran Jakarta. Dia bilang, "Simpan ini. Barangkali bisa buat bahan menulis di blog-mu lagi." seraya menyodorkan dua potongan tiket marun dan abu-abu. Miliknya yang marun, sisa lainnya milikku berbeda warna karena aku membayar tiket setengah harga hanya dengan menunjukkan kartu kecil berlogo Institut tempatku berdiskusi tentang seni.


Aku kabuli celotehnya, aku menulis lagi.


Hari ini entah hari keberapa aku tidak menulis di blog ini. Bahkan tidak mengunjunginya dalam waktu yang lama. Jika blog ini adalah sebuah rak, barangkali kecoa beranak pinak di sini. Atau barangkali ini buku harian, lembaran kertasnya mungkin sudah menempel satu dengan yang lainnya karena lembab.


Aku ingat beberapa waktu lalu memposting sebuah tulisan hanya karena secarik kertas kecil yang aku bilang (di tulisanku tempo hari) sering menyembul keluar ketika aku membuka tas cokelat mudaku. Kali ini aku tidak mau lagi diganggu sembulan semacam itu. Tiket marun dan abu abu milik kami aku simpan di dalam dompet. Aku kancing di salah satu kantongnya, aku tutup rapat. Mungkin mereka pengap. Aku pura pura tidak peduli.


Kali ini aku menyimak betul pertunjukan tari yang kami kunjungi. Menyimak betul betul. Meskipun di beberapa babak, aku kurang mengerti arti tembang tembang yang mereka nyanyikan dalam bahasa Sunda dan Jawa. Tapi aku menikmati, sangat. Aku pikir laki laki dan perempuan yang bisa menari itu seksi.


Sepanjang pertunjukan, mataku lekat pada deret alat gamelan dan para penari dari dua budaya berlainan itu beraksi menunjukkan diri. Berputar, meliuk, menghentak: berkeringat. Sepanjang pertunjukan kami tidak berbincang sama sekali. Hanya celetukan sesekali. Sungguh aku benar memperhatikan mereka. Sungguh. (Tanganku juga berkeringat).


Sedari tadi tidak ada perbincangan berarti tapi aku bicara: dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau. Pun ketika kau tawarkan susu jahe di angkringan depan gedung pertunjukan, aku bicara dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau.


Dalam diam kita berbincang: tentang aku, kamu, kuliah, nikah, kacamata. Juga tentang tiket bioskop yang sering menyembul keluar dari tasku. Aku tau ketika kau menyeruput susu jahemu kau bilang: "Tiket itu masih sering menyembul keluar tasmu? Tas yang inikah? Yang cokelat muda ini? yang kau sandang sedari tadi? Tas yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari? Aku simak, bajumu juga sama. Baju yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari." Dan kau tau aku menjawab semua pertanyaanmu dengan satu jawaban: "Ya.", sambil meneguk susu jaheku.


Hidup harus terus berjalan, meskipun kenyataan tak sesuai apa yang diimpikan. Remuk redam itu masih terasa tapi aku mencoba terbiasa. Toh aku memang sudah biasa. Semenjak kau sudahi petualanganku merebut hatimu, pekerjaanku mulai bertambah: merapikan potongan hati yang terburai-setiap hari.


Mungkin kemarin dan esok lusa nanti, aku memilih berbincang denganmu lewat diam. Karena bicara tak lagi mampu menumpah ruahkan semua. Sekalipun aku berkali mencoba.