Jumat, 24 September 2010

Saia Tidak Menulis Hari Ini


Lidah saia kaku

Tangan saia beku

Saia tidak menulis hari ini

Saia mau melukis


Saia lihat dari jauh

Wajahmu menyembul dari balik kabikel

Tempat kau berkutat dengan pemikiranmu sendiri


Ya! Itu wajahmu! Saia yakin itu!

Meskipun jutaan jam tidak bertemu

Saia yakin itu wajahmu


Tapi saia tidak bisa menerka

siapa yang telah menggunakan wajahmu

Dan duduk di kursimu


Saia mau melukismu

Tapi tolong kembalikan dulu ragamu


Saat lewat dekat mejamu

Saia tidak mencium wangimu

Saia hanya melihat tangan tangan

Ingin melempari saia dengan sumpah serapah


Sebegitu salah kah saia

Sampai saia tidak mampu lagi mengenalimu


Lidah saia kaku

Tangan saia beku

Saia tidak menulis hari ini

Saia juga tidak mampu melukis: kamu


Wadah Rasa yang Durjana!


Seperti tinggal di bumi bagian mana saja
Hangat yang mampir ke jari sudah jarang saia rasa
Apalagi menjelang sore hari

Saia dan pemikiran saia [lagi lagi begitu!]
Tidak bisa membuat tungku dalam hati saia
Saia biarkan saja begitu
Dingin dan masam Saia sampai malas menengoknya

Orang bilang, rasa terfermentasi pada hati
Diolah berbagai rupa
Sampai benang jadi kain
Sampai kain kau bakar

Hujan bagi sebagian orang: dingin
Bagi saia: ramai

Terserah

Kenapa saia selalu berpikir beda dari orang kebanyakan?
Apa karena wadah rasa saia tidak terbuat dari kapas?

Saia mau merasakan hujan sebagai dingin
Seperti kebanyakan orang yang menafsirkannya begitu
Tapi saia bilang: kebanyakan orang berpikir begitu.
Lalu kemana yang sedikit lagi?

Apa wadah rasa mereka juga tidak terbuat dari kapas?
Tapi dari tembaga.

Keras
Lugas
Bernas
Tidak waras
Waras
Tidak
Waras
Tidak
Waras


Kamis, 16 September 2010

Saia Membuka Masker Hidung Saia

Sore itu hujan, dan Anda belum kembali dari sana.

Saia punya banyak waktu luang untuk menunggu hujan reda,

Di sofa keunguan di ruang tamu kantor.

*jika Anda sudah kembali, saia pasti memilih menerabas hujan lalu kuyub

ketimbang duduk di sana, di belakang meja kerja Anda. Risih [dengan pemikiran yang tak keruan]


Saia jilati juga gerimis kecil yang mampir ke ujung bibir

yang gemetar menahan tamparan angin jelang maghrib di jalan raya Bogor.

Saia di atas motor, melaju di pinggiran jalan raya

mempersilahkan kendaraan lain mendahului laju sepeda motor saia.


Saia ingin berlama lama di atas motor.

Tempat saia bisa luang berbicara pada diri saia sendiri.

Toh saia sekarang memakai masker

Meracau pun tidak ada yang tau

Tidak ada yang mengganggap saia gila: Berbicara sendiri.

*kenapa berbicara sendiri dianggap gila, padahal hanya orang waras yang bisa merefleksikan diri!


[sesekali saia bersenandung: Why Don't We, Sandy Sandhoro.]


Saia pengap! Masker saia mengurung udara keluar masuk dari hidung saia.

Berkutat di situ situ saja.

Mengembun pada lensa kacamata saia.


Saia melepas masker hidung saia.

Saia senang menghirup timbal dari bus kota di depan saia.

Pengap yang berbeda, diselingi hawa dingin bekas hujan.

Timbal tidak membuat saia sesak.

Pemikiran tentang Anda yang membuat saia pengap!


Saia bebas tanpa masker.

Saia bisa bernafas.

Saia bisa menentukan mau sesak atau tidak.


Tapi saia tidak bisa berbicara!

Atau orang akan menganggap saia gila!

[ternyata saia bebas dalam ketertutupan]


Jumat, 10 September 2010

The Special One: La Razsati

Hari ini sempurna sekali: Lebaran!
Rumah saia penuh sesak berjubel anak, menantu, dan cucu Mbah Putri.
Saia memang tinggal bersama Mbah.
Sama seperti tahun tahun lalu.
Tapi ada satu yang membuat lebaran tahun ini terasa lebih spesial dari tahun tahun lalu.

:: La Razsati

Anak ini lucu,, wajahnya kecinaan.
Berbeda dengan anggota keluarga Mbah Putri yang lain: India atau Arab.
Mungkin ikut wajah ayahnya.
Ya, ayahnya masih orang Jawa, Surabaya.
Tapi memang agak oriental.

Anak ini jadi anugrah tersendiri buat keluarga besar kami.
Betapa tidak, Laras adalah anak pertama dari cucu Mbah Putri yang paling tua.
Laras Cicit Mbah, Mbah Uyut Laras.

Terlihat Mbah memandangi Laras bersembunyi di balik punggung ibunya ketika kami: tante dan omnya menggoda dia.
[Saia rasa Mbah ingin, tapi sudah tidak kuat menggendong Laras]
Mungkin kalau boleh dan kalau benar, saia jabarkan
Mbah sangat bersyukur masih bisa melihat cicitnya.
Tidak semua orang bisa berkesempatan melihat cicit mereka seperti Mbah.

Mbah pasti sangat bersyukur, dan berterimakasih atas kesempatan yang diberikan Tuhan saat ini.
Tapi saia tidak kalah bersyukur pada Tuhan [dan pada La Razsati] karena telah memberi kesempatan pada saia untuk menikmati senyum Mbah yang megah Lebaran ini.

Dalam hati saia berdoa:
Mbah, temani saia Lebaran tahun depan.
Doakan saia bisa mempersembahkan sesuatu yang bisa membuat senyum Mbah mengembang seindah ini lagi.
Atau paling tidak, biarkan saia melihat senyum Mbah lagi saat La Razsati sudah bisa naik sepeda sendiri.


Terimakasih Tuhan, Terimakasih Mbah, Terimakasih La Razsati

Selasa, 07 September 2010

Nyuwun Ngapura Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo, lan Panjenengan.




Kulo sowan wonten ing ngarsanipun Kanjeng Romo lan Kanjeng Ibu,
mbok bilih wonten klenta-klentunipun atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak. Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag, ingkang mboten ndadosaken sarjuning panggalih.







Senin, 06 September 2010

Seminggu Ini Untuk Anda, Be Es!


Seperti "merayakan" hilangnya kita berdua.

Tiap hari saia tulis nama Anda di coretan gamang pada blog saia.

[Jangan lagi merayakan, menatap saja saia masih belum berani]


Be Es! Anda menguasi blog saia minggu ini!

Ingat Be Es, tidak untuk minggu depan!


Saia tau muntahan kegamangan ini masih larut dalam Anda.

Masih belum terlepas dari remah remah wangi Anda.


Tapi saia tidak mau menunggu lama Be Es!

Hidup saia harus terus berjalan.

Saia mau mengganti kopi pahit saia yang sudah basi.

Yang saia letakkan disudut kamar.


Tapi tidak akan saia buang Be Es.

Kopi itu hanya basi, belum membusuk.

Hanya akan saia pindahkan ke dekat sarang tikus.

Agar mereka tau saia gamang waktu itu.



Hari ini masih hujan Be Es.

Tapi Anda nekat pergi.



Saia diam sambil menyeduh kopi.

*Dalam gelas yang sama, gelas kopi basi yang nodanya masih samar.



Belum Lagi Hilang Lebamku: Be Es

Bulan ini musim hujan.

Saia bisa bilang begitu karena belakangan, sering hujan.

Sesekali kita menghabiskan waktu bersama.

Bersama hujan yang menitik di ujung jari jari kita: di tepi jalan raya.


Be Es, saia rindu menghabiskan waktu bersama Anda

hanya untuk menceritakan masa kecil kita yang berbeda satu sama lain.

Saia tinggal di kota, Be Es.

Tak kenal tutut yang Anda ceritakan telah Anda bakar dan nikmati bersama teman teman Anda selepas bermain hujan di tengah sawah.


Anda ribuan kilometer dari tempat saia menghabiskan waktu duduk dikamar dan beradu pikir pada video game yang dibelikan Bapak saat kenaikan kelas.

Anda bercerita, pikiran Anda menerawang ke masa kanak kanak Anda dulu.

Anda bercerita, pikiran saia menerawang ke masa depan tentang apakah kita masih akan bercerita seakrab ini nanti.


Kita bercerita, dengan gigi gemeretak menahan dingin hujan diluar jendela ruang tamu rumahku.

Seperti dua orang renta yang sedang bertukar cerita.

Saia suguhkan secangkir kopi panas dan kita semakin liar bercerita.



Lebam ini belum hilang Be Es.

Semenjak saia putuskan untuk membencimu sampai ke sumsum tulang.

[semenjak kita berdua memutuskan untuk hilang]

Tapi gemeretak gigi kita, dan hujan yang membasahi jari jari kita waktu hujan sore itu mengibaskan semuanya.



Saia tidak mampu menipu hati saia.

Saia masih mau mendengar cerita Anda


Padahal lebam ini belum lagi hilang.

Seperti saia siap saja menerima lebam selanjutnya.


Be Es... Be Es...


Anda benar benar membuat saia gila,

Gila untuk bercerita!



Jumat, 03 September 2010

Kelangit Bersama Ikan Asin*

Baru tadi pagi saia minum segelas susu.
Tidak manis,, tapi cukup segar.
Sore ini kopi pahit.

Saia tau ini pahit.
Tapi tetap saia minum.
Saia seruput pelan dan dalam.

Mata saia menangkap tembok membentuk relief.
Cerita tentang Pariyem dan Den Bagus Ario Atmojo.
Kisah cinta beda kasta yang pernah saia baca pada buku usang di sudut kamar.
Angan saia melesat ke Suryomentaraman Ngayogyakarta.

Pariyem itu babu, Ario Atmojo, sudah jelas... Den Bagus.
Kalau mereka saling jatuh cinta, salah siapa?
Salah Ario yang dibutakan cinta?
Atau Pariyem yang tidak mengenal tingkatan kasta?

[salah saia: kenapa memikirkan siapa yang salah!]

Kopi saia mulai dingin.
Tapi tembok masih berpendar.
Mengurai cerita lain.

Sekelompok ikan asin melarikan diri dari kantung kresek hitam kumal.
Masing masing mereka membawa tali.
Ah.. ikan ikan bodoh. Kataku.
Bukankah hidup mereka akan lebih berarti jika mereka tetap dikantung.
Menanti nasi panas menyertakan mereka turun ke pangkal tenggorokan.

Ah dasar ikan keras kepala!. Kataku lagi.

Mereka malah memboyongku ikut dengan mereka.
Mereka berjajar membentuk anak tangga.
Tali yang mereka bawa, mereka pakai untuk mengait pelangi.
Saia terdesak! Terbawa ke atas.

Ikan ikan asin itu mengajak saia terbang.
Saia tidak percaya! Mereka cuma serupa kecil.

Saia kelangit.
Bersama ikan asin!




*Judul postingan ini diambil dari salah satu judul landscape pada Katalog Rupa: Dive Into, milik perupa Hanafi.

Kamis, 02 September 2010

Perang Batin

Be Es saia sakit.
Bukan sakit demam.
Bukan sakit kepala.
Bukan sakit hati juga.

Perang dalam batin saia mengakumulasi.
Menyebabkan saia sakit: mati rasa.
Saia geram tapi tidak ingin marah.
Saia kesal tapi memilih diam.
Saia senang tapi tidak terlalu yakin.


Tapi Antiklimaks.



Saia keluar dari zona aman tapi malah terperangkap dalam tempat baru yang asing.
Satu tempat di hati saia yang belum pernah saia kunjungi sebelumnya.
Tempat hati saia mati rasa.


mati


tanpa rasa



berasa



tapi mati




rasanya mati




saia sakit: Be Es
saia tidak masuk kerja hari ini

Be Es, Saia Cemburu

Pantang sebenarnya mengakui hal ini: Cemburu.
Selama ini saia cuma punya satu alasan untuk cemburu.
Saia cemburu pada Bapak, yang punya istri sebaik dan secantik Ibu.

Tapi hari ini saia cemburu.
Saia mencemburui Anda: Be Es.
Saia cemburu pada Anda atas wanita yang menyesalkan kepergian Anda ke Luar Kota tanpa pamit padanya.
Wanita itu berkata [saia rasa dengan nada manja], "Ih... Kok ke Cianjur gak bilang bilang???"
Sedangkan saia hanya bisa bicara [tanpa nada, saia rasa] "Hati hati di jalan."
*saia kurang bisa merengek, jadi maaf.

Saia juga iri pada Anda.
Anda bisa tenang menghadapi saia, yang bahkan, saia kewalahan menanggapi sikap saia sendiri.
Saia rikuh sendiri. Kikuk.

Bahkan saat wanita itu tadi mampir ke ruangan kita. Ehm.. Ruangan Anda, maksud saia.
Saia berusaha untuk tidak peduli [hanya untuk menyelamatkan kegalauan hati saia].
Tapi tetap saja saia tau dia ada di ruangan kita. Ehm.. Ruangan Anda, maksud saia.

Saia iri pada monitor Mac Anda, yang Anda pandangi setiap hari.
Saia iri pada headset Anda yang tiap hari meracau tapi Anda dengarkan.
Saia iri pada tiket mudik Anda yang Anda jaga dengan seksama.
Saia iri pada tas ransel Anda yang tiap hari melingkupi Anda
Bahkan saia iri pada dispenser di sebelah meja kerja Anda!
yang bisa mengintip Anda bekerja setiap hari.

Saia cemburu pada Anda Be Es.
Pada tiap tiap pemikiran Anda yang sederhana.

Saia tidak ingin berpikir terlalu kompleks tentang Anda.
Tapi Anda labirin: memaksa saia berpikir lebih dalam.

Besok akan saia buatkan Anda puding cokelat.
Agar dispenser di sebelah Anda iri: hanya bisa mengintip dari balik meja kerja Anda.

Rabu, 01 September 2010

Jangan Hakimi Otak Saia: Be Es

"Tidak ada masalah dengan kamu.
Jangan terlalu berlebihan menanggapi ini semua.
Aku tidak apa apa."

Tiap hari saia dijejali kalimat kalimat mengambang seperti itu.
Tidak ada masalah dengan saia, tapi saia merasa terintimidasi.
Otak saia, Anda hakimi!
Sarang laba laba menebal di tepi tepinya
Pertanda saia tak mampu lagi menganalisa sikap Anda.

Saia ingin menyerah saja.
Tapi saia kadung sombong, sesumbar pada Anda kalau saia wanita hebat.

Sudah saia bilang kalau saia bukan paranormal,
Bisa membaca pikiran orang.

Tinggal bilang salah saia apa.
Tinggal minta, Anda maunya saia gimana.

Ingin menambahkan satu sarang lagi di otak saia???