Seperti tinggal di bumi bagian mana saja Hangat yang mampir ke jari sudah jarang saia rasa Apalagi menjelang sore hari
Saia dan pemikiran saia [lagi lagi begitu!] Tidak bisa membuat tungku dalam hati saia Saia biarkan saja begitu Dingin dan masam Saia sampai malas menengoknya
Orang bilang, rasa terfermentasi pada hati Diolah berbagai rupa Sampai benang jadi kain Sampai kain kau bakar
Hujan bagi sebagian orang: dingin Bagi saia: ramai
Terserah
Kenapa saia selalu berpikir beda dari orang kebanyakan? Apa karena wadah rasa saia tidak terbuat dari kapas?
Saia mau merasakan hujan sebagai dingin Seperti kebanyakan orang yang menafsirkannya begitu Tapi saia bilang: kebanyakan orang berpikir begitu. Lalu kemana yang sedikit lagi?
Apa wadah rasa mereka juga tidak terbuat dari kapas? Tapi dari tembaga.
Keras Lugas Bernas Tidak waras Waras Tidak Waras Tidak Waras
Hari ini sempurna sekali: Lebaran! Rumah saia penuh sesak berjubel anak, menantu, dan cucu Mbah Putri. Saia memang tinggal bersama Mbah. Sama seperti tahun tahun lalu. Tapi ada satu yang membuat lebaran tahun ini terasa lebih spesial dari tahun tahun lalu.
:: La Razsati
Anak ini lucu,, wajahnya kecinaan. Berbeda dengan anggota keluarga Mbah Putri yang lain: India atau Arab. Mungkin ikut wajah ayahnya. Ya, ayahnya masih orang Jawa, Surabaya. Tapi memang agak oriental.
Anak ini jadi anugrah tersendiri buat keluarga besar kami. Betapa tidak, Laras adalah anak pertama dari cucu Mbah Putri yang paling tua. Laras Cicit Mbah, Mbah Uyut Laras.
Terlihat Mbah memandangi Laras bersembunyi di balik punggung ibunya ketika kami: tante dan omnya menggoda dia. [Saia rasa Mbah ingin, tapi sudah tidak kuat menggendong Laras] Mungkin kalau boleh dan kalau benar, saia jabarkan Mbah sangat bersyukur masih bisa melihat cicitnya. Tidak semua orang bisa berkesempatan melihat cicit mereka seperti Mbah.
Mbah pasti sangat bersyukur, dan berterimakasih atas kesempatan yang diberikan Tuhan saat ini. Tapi saia tidak kalah bersyukur pada Tuhan [dan pada La Razsati] karena telah memberi kesempatan pada saia untuk menikmati senyum Mbah yang megah Lebaran ini.
Dalam hati saia berdoa: Mbah, temani saia Lebaran tahun depan. Doakan saia bisa mempersembahkan sesuatu yang bisa membuat senyum Mbah mengembang seindah ini lagi. Atau paling tidak, biarkan saia melihat senyum Mbah lagi saat La Razsati sudah bisa naik sepeda sendiri.
Terimakasih Tuhan, Terimakasih Mbah, Terimakasih La Razsati
Kulo sowan wonten ing ngarsanipun Kanjeng Romo lan Kanjeng Ibu,mbok bilih wonten klenta-klentunipun atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak. Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag, ingkang mboten ndadosaken sarjuning panggalih.
Baru tadi pagi saia minum segelas susu. Tidak manis,, tapi cukup segar. Sore ini kopi pahit.
Saia tau ini pahit. Tapi tetap saia minum. Saia seruput pelan dan dalam.
Mata saia menangkap tembok membentuk relief. Cerita tentang Pariyem dan Den Bagus Ario Atmojo. Kisah cinta beda kasta yang pernah saia baca pada buku usang di sudut kamar. Angan saia melesat ke Suryomentaraman Ngayogyakarta.
Pariyem itu babu, Ario Atmojo, sudah jelas... Den Bagus. Kalau mereka saling jatuh cinta, salah siapa? Salah Ario yang dibutakan cinta? Atau Pariyem yang tidak mengenal tingkatan kasta?
[salah saia: kenapa memikirkan siapa yang salah!]
Kopi saia mulai dingin. Tapi tembok masih berpendar. Mengurai cerita lain.
Sekelompok ikan asin melarikan diri dari kantung kresek hitam kumal. Masing masing mereka membawa tali. Ah.. ikan ikan bodoh. Kataku. Bukankah hidup mereka akan lebih berarti jika mereka tetap dikantung. Menanti nasi panas menyertakan mereka turun ke pangkal tenggorokan.
Ah dasar ikan keras kepala!. Kataku lagi.
Mereka malah memboyongku ikut dengan mereka. Mereka berjajar membentuk anak tangga. Tali yang mereka bawa, mereka pakai untuk mengait pelangi. Saia terdesak! Terbawa ke atas.
Ikan ikan asin itu mengajak saia terbang. Saia tidak percaya! Mereka cuma serupa kecil.
Saia kelangit. Bersama ikan asin!
*Judul postingan ini diambil dari salah satu judul landscape pada Katalog Rupa: Dive Into, milik perupa Hanafi.
Be Es saia sakit. Bukan sakit demam. Bukan sakit kepala. Bukan sakit hati juga.
Perang dalam batin saia mengakumulasi. Menyebabkan saia sakit: mati rasa. Saia geram tapi tidak ingin marah. Saia kesal tapi memilih diam. Saia senang tapi tidak terlalu yakin.
Tapi Antiklimaks.
Saia keluar dari zona aman tapi malah terperangkap dalam tempat baru yang asing. Satu tempat di hati saia yang belum pernah saia kunjungi sebelumnya. Tempat hati saia mati rasa.
Pantang sebenarnya mengakui hal ini: Cemburu. Selama ini saia cuma punya satu alasan untuk cemburu. Saia cemburu pada Bapak, yang punya istri sebaik dan secantik Ibu.
Tapi hari ini saia cemburu. Saia mencemburui Anda: Be Es. Saia cemburu pada Anda atas wanita yang menyesalkan kepergian Anda ke Luar Kota tanpa pamit padanya. Wanita itu berkata [saia rasa dengan nada manja], "Ih... Kok ke Cianjur gak bilang bilang???" Sedangkan saia hanya bisa bicara [tanpa nada, saia rasa] "Hati hati di jalan." *saia kurang bisa merengek, jadi maaf.
Saia juga iri pada Anda. Anda bisa tenang menghadapi saia, yang bahkan, saia kewalahan menanggapi sikap saia sendiri. Saia rikuh sendiri. Kikuk.
Bahkan saat wanita itu tadi mampir ke ruangan kita. Ehm.. Ruangan Anda, maksud saia. Saia berusaha untuk tidak peduli [hanya untuk menyelamatkan kegalauan hati saia]. Tapi tetap saja saia tau dia ada di ruangan kita. Ehm.. Ruangan Anda, maksud saia.
Saia iri pada monitor Mac Anda, yang Anda pandangi setiap hari. Saia iri pada headset Anda yang tiap hari meracau tapi Anda dengarkan. Saia iri pada tiket mudik Anda yang Anda jaga dengan seksama. Saia iri pada tas ransel Anda yang tiap hari melingkupi Anda Bahkan saia iri pada dispenser di sebelah meja kerja Anda! yang bisa mengintip Anda bekerja setiap hari.
Saia cemburu pada Anda Be Es. Pada tiap tiap pemikiran Anda yang sederhana.
Saia tidak ingin berpikir terlalu kompleks tentang Anda. Tapi Anda labirin: memaksa saia berpikir lebih dalam.
Besok akan saia buatkan Anda puding cokelat. Agar dispenser di sebelah Anda iri: hanya bisa mengintip dari balik meja kerja Anda.
"Tidak ada masalah dengan kamu. Jangan terlalu berlebihan menanggapi ini semua. Aku tidak apa apa."
Tiap hari saia dijejali kalimat kalimat mengambang seperti itu. Tidak ada masalah dengan saia, tapi saia merasa terintimidasi. Otak saia, Anda hakimi! Sarang laba laba menebal di tepi tepinya Pertanda saia tak mampu lagi menganalisa sikap Anda.
Saia ingin menyerah saja. Tapi saia kadung sombong, sesumbar pada Anda kalau saia wanita hebat.
Sudah saia bilang kalau saia bukan paranormal, Bisa membaca pikiran orang.
Tinggal bilang salah saia apa. Tinggal minta, Anda maunya saia gimana.
Ingin menambahkan satu sarang lagi di otak saia???