Rabu, 05 Januari 2011

Timbul, Diam, dan Tenggelam

Apa yang bisa saya simpulkan dari dua jam pertemuan kita di ujung Tidung pagi itu?
Dari subuh menggoes sepeda ontel karat ke tepi pantai berpagar pohon Ketapang yang angkuh, sombong tak membalas goyangan empas angin.
Matamu menunjuk langit yang melukis aurora. Bentukan warna sesukanya, tapi manis. Saat matahari menoreh sinar kekuningan. Mula mula mengintip dari ujung laut dan membelalak. Mata kita kalah.
Tangan saya iseng mengambil buah ketapang yang rontok, layu di atas pasir basah. Tanpa arah, saya lempar ke tengah lautan. Sama sekali bukan bermaksud melempari matahari. Tanganmu juga sama-maksud kita juga sama.


Lombok itu indah 'Nduk.
Kau memulai drama kita.
Ya... meskipun di sini juga indah.

Mbah pernah ke sana?

Saya pernah menetap di Nusa Tenggara. Saya memuji Lombok seadanya saja. Tapi ya itu adanya: bagus.
Kapan kapan boleh lha ke sana.

Kita masih ada saudara yang menetap di sana, Mbah?

Sepertinya sudah semua pindah.
Tapi jangan ragu untuk mampir ke sana, Nduk. Nanti kita buat ronce cangkang kerang untuk tirai kamarmu. Atau cuma menghabiskan waktu seperti pagi ini. Menatap matahari.

Lombok di mana sih Mbah? Kalo mau kesana, bisa jalan kaki?

Jauh, Nduk. Nanti besar sedikit juga kamu tau.

Terus kita ke sananya gimana, Mbah?
Bisa pake perahunya Mamak?

Gak bisa, harus pakai perahu besar atau pakai kapal terbang.

Kapal terbang, Mbah? Aku kan gak punya uang.

Nanti juga punya.



Apa artinya percakapan kita yang ditonton matahari pagi?
Saya sudah punya uang. Lalu kapan kita ke Lombok?
Egois, kau pergi duluan. Sudah punya Lombok sendiri.
Mana janji kita meronce kerang?
Kapan pagi kita bisa duduk seperti ini di Gili Trawangan?

Demi Lombok dan kerang yang hendak kita ronce jadi sebuah tirai.
Rasanya ingin saya tagih janjimu besok pagi.
Ke Lombok, kita akan mandi.
Saya sesungutan kalau kau tidak datang.

Tapi pagi tetap saja pagi. Meskipun kau sudah pergi, Mbah. Pagi tetap pagi.
Saya tetap mandi.

Pagi, Idul Fitri kemarin. Saya kembangi pasirmu.
Pinggir Tidung.
Saya bisiki janji kita, tapi tanpa sesungutan.

Sebenarnya saya tidak perlu ke Lombok.
Tidung saja sudah cukup, untuk membayangkan Lombok tergambar di atas air laut.

Saya kangen Mbah.





*untuk Bapaktua Amien, di surga.