Jumat, 03 September 2010

Kelangit Bersama Ikan Asin*

Baru tadi pagi saia minum segelas susu.
Tidak manis,, tapi cukup segar.
Sore ini kopi pahit.

Saia tau ini pahit.
Tapi tetap saia minum.
Saia seruput pelan dan dalam.

Mata saia menangkap tembok membentuk relief.
Cerita tentang Pariyem dan Den Bagus Ario Atmojo.
Kisah cinta beda kasta yang pernah saia baca pada buku usang di sudut kamar.
Angan saia melesat ke Suryomentaraman Ngayogyakarta.

Pariyem itu babu, Ario Atmojo, sudah jelas... Den Bagus.
Kalau mereka saling jatuh cinta, salah siapa?
Salah Ario yang dibutakan cinta?
Atau Pariyem yang tidak mengenal tingkatan kasta?

[salah saia: kenapa memikirkan siapa yang salah!]

Kopi saia mulai dingin.
Tapi tembok masih berpendar.
Mengurai cerita lain.

Sekelompok ikan asin melarikan diri dari kantung kresek hitam kumal.
Masing masing mereka membawa tali.
Ah.. ikan ikan bodoh. Kataku.
Bukankah hidup mereka akan lebih berarti jika mereka tetap dikantung.
Menanti nasi panas menyertakan mereka turun ke pangkal tenggorokan.

Ah dasar ikan keras kepala!. Kataku lagi.

Mereka malah memboyongku ikut dengan mereka.
Mereka berjajar membentuk anak tangga.
Tali yang mereka bawa, mereka pakai untuk mengait pelangi.
Saia terdesak! Terbawa ke atas.

Ikan ikan asin itu mengajak saia terbang.
Saia tidak percaya! Mereka cuma serupa kecil.

Saia kelangit.
Bersama ikan asin!




*Judul postingan ini diambil dari salah satu judul landscape pada Katalog Rupa: Dive Into, milik perupa Hanafi.