Selasa, 19 Juli 2011

#kopi

:: Pertama kali saya jijik ngeliat Bapak sama Mbah asik ngobrol minum cairan hitam pekat #kopi

:: Kata Bapak: Mau coba? | Iiiiiih.. gak. | #kopi

:: Bapak beli Coca Cola botol kecil. Isinya habis, bapak isi ulang dengan kopi. Saya gak tau: minum #kopi

:: Piiih..!!! Pait! Apaan nih? #kopi

:: Gimana rasanya? | Pait, sisanya bikin asem | #kopi

:: Bapak sering diem, baca koran, atau ngobrol sama Ibu sambil minum kopi #kopi

:: Waktu pengen cerita tentang kakak kelas yang aku taksir, aku coba bikin kopi: ngobrol sama Ibu #kopi

:: Saking serunya aku cerita sama Ibu, kopi jadi manis #kopi

:: Ibu bilang: Tua kamu, minum kopi | aku bilang: Tua? Kayak Bapak? #kopi

:: Kata Ibu: Ah,, kalo dibilangin malah ngebalikin | Ibu minum kopi-ku #kopi

:: Priiich... pih.. pih! Apa ini? Ampas kayu? *bubuk kopi ngambang di cangkir #kopi

:: Lain kali, kalo bikin kopi airnya harus yang mendidih. Aku belajar masak air #kopi

:: Kopi instan boleh langsung di seduh pake air termos. Kopi tubruk gini gak bisa. Aku belajar bikin singkong goreng #kopi

:: Kenapa baru sekarang itu Mahasiswa pada turun ke jalan?! | Emang kenapa sih Pak? | *Ganti channel #kopi

:: Itu almamatermu kok warnanya sama kayak almamater UI? | Sepupuan Pak | Oooh...| *balik halaman koran #kopi

:: Buka bungkusnya dan temukan hologram berhadiah langsung *jika beruntung #kopi

:: “Tinjauan Pembuatan Cover Novel Dwilogi pada Penerbit Java Media” | 02.18 #kopi

:: Bu! Aku masa percobaan tiga bulan Di Erlangga | Ampas kopi turun sempurna ke dasar gelas belimbing #kopi

:: Masuk angin itu Put. Ini bekamannya jangan kena air dulu ya selama 6 jam. Nih, sambil diminum KOPI RADIX-nya. Kata Mamah @nengshin #kopi

:: Bravo!, Choice, Menapak Jejak Amien Rais, Ruang desain Erlangga, Kopi Mas Eko #kopi

:: Kopi, Kopi, Kopi, Kamu, Kopi, Kopi, Kopi, Kamu lagi, habis itu Kopi #Kopi

:: Gak peduli lagi sama hologram berhadiah. Kopi di mejaku dibungkus papir tipis, bukan plastik. Robusta Giling Kasar asal Banceuy #kopi

:: Kau masih di urutan ke empat sehabis kopi, kopi, dan kopi #kopi

Senin, 11 Juli 2011

Selamat Pagi Bapak

Tadi, aku duluan lho yang bangun. Masih manis, sisa gurau kita kemarin sore. Satu yang bikin saya tergelitik, katamu: kalau sudah pensiun, Bapak mau buka gerobak nasi goreng. Ah Bapak, lha wong mie goreng instan merk baru yang aku belikan saja kau kuahi. Tapi kemudian kuyu. Tak bisa membayangkan kau pensiun. Saya rasa saya belum dan tidak mau membayangkan itu. Kita sudah sama sama tua ya Pak. Bedanya saya masih suka main di mall.


Kenapa ketika bercerita, tawa dan tangis itu beda tipis ya Pak? Saat saya mendengar ceritamu, saya tertawa sampai menangis dan menangis sambil tertawa. Kopi kita sampai dingin Pak, keasyikan bercerita. Berkerak dan bernoda.


Iya Pak,, cerita waktu kau melamar Ibu. Itu.... hahahahahaaa... kau suguhkan begitu renyahnya. Ketika itu kau baru lulus, Ibu nanti menyusul. Kau kumpulkan uang hasil kerja kontrakmu, tapi masih belum tau mau buat apa. Setelah Ibu lulus dan yakin kalau uang itu untuk melamarnya, kau malah memakainya untuk menguliahkan adikmu. Ibu ungu! Ahaha,, wajah ibu benar ungu. Ungu! Tapi bukan Bapak namanya kalau gak pandai merayu. Entah pakai ilmu apa, kau berhasil meyakinkan Ibu untuk menunggu. Kau janjikan bunga anggrek: Ungu. Demi kau Bu, kalau ada yang memberiku anggrek ungu, akan kusuruh dia berenang sampai Tidung!


Akhirnya, jadi juga kau melamar Ibu. Beradu pandang pada Mbah si Kakek sinis. Lagi lagi ilmu apa Pak? Dari siapa? Kau bisa meyakinkan Mbah kalau anak perempuan satu satunya itu bakal aman di tangan bujang sepertimu. Ah, saya yakin Mbah cuma malas main catur denganmu. Maka dia lepas anaknya dengan Qur'an, mukena, seperangkat bedak dan gincu.


Saya bilang: Ibu kau guna guna Pak? Dia langsung meniup tangannya dan membuat belahan di rambutnya: Ibu itu naksir berat sama saya, paling ganteng se-aliyah. Dilihat dari garis mukanya, sedikit banyak saya percaya. Gincu yang kau berikan sebagai iringan mahar tempo hari sudah tak tau ada di mana. Tapi bibir ibu masih tetap saja merah: delima.


Jelas seperti menonton film, aku bayangkan kau 25-30 tahunan yang lalu. Tapi aku tidak bisa bayangkan kau pensiun, Pak. Kau akan bercerita tentang 30-45 tahun lalu. Tentang kau dapat sepatu hanyut di pinggir pantai biru. Jangan pensiun dulu lha Pak,, saya janji akan mengenalkanmu pada si Pembawa Anggrek Ungu. Tapi nanti, kucari dulu.

Rabu, 06 Juli 2011

Tentang Bulan Tujuh



Hari ini hari ke enam Juli tapi sudah ribuan yang terjadi: ratusan untuk agenda kerja yang selaras, ratusan untuk perjalanan sederhana tiap hari, ratusan untuk mimpi yang satu malam saja bisa terpartisi berkali kali, dan sisanya untuk selaksa indah yang tidak sengaja kau titipkan di satu hari antara tanggal satu ke tanggal enam Juli.


Saya sangat setuju kalau manusia dicipta Tuhan bukan sebagai makhluk tau segala. Kau jadi tidak perlu tau apa yang saya rasakan, meski saya lima sentimeter saja disampingmu. Pun saya, terhadapmu. Saya suka menebak, saya suka menerka, meski kadang tebakan dan terkaan saya meleset. Saya hanya mau main tebak tebakan.


Kau tau, kadang menebak hatimu itu membuat saya senyum senyum sendiri. Apalagi menebak hati saya, makin seru jadinya karena saya bebas memberi warna pada berbagai kemungkinan: makin gila imajinasi saya!


Bulan bulan sebelumnya tidak begini, saudara. Biasa. Kau ya kau dengan berbagai keseruan hidup, saya ya saya dengan beragam cerita. Kita punya masing masing satu blocknote untuk kita gambari pelangi. Tapi ini Bulan tujuh, pelangi yang kau gambar di blocknote-mu nyasar ke blocknote-ku. Biru, ungu tanpa kelabu: kesengsem aku.


Jadi makin sering saya main tebak tebakan tentang saya, tentang kamu. Biar saya bikin cerita saya sendiri, kemudian minta acc ke Tuhan. Semoga Beliau tidak berkeberatan.

Senin, 04 Juli 2011

Gadis Gula Batu


Ah kata... Kau bisa begitu menusuk pada hati, begitu berkesan, begitu anggun

Tapi kadang kau tidak bisa melukiskan sesuatu: buntu. Seperti, seorang teman pernah menyebut gadis pujaannya sebagai Gadis Gula Batu. SEMPURNA! Kalau saya yang jadi wanita itu, betapa pipi saya tidak sempat pucat. Gadis,, diksi paling cantik buat menyebut perempuan: gambarannya seperti muda, ranum, dan bersemangat. Gula Batu: bahan pemanis alami yang memang manis dari janin; sangat manis; manis; begitulah.


Tapi kata apa yang bisa menggambarkan adam sepertimu? Yang senada Gadis, dan sejajar Gula Batu. Yang memang kau muda, ranum dan bersemangat. Yang memang manis tapi beringas. Ya, adam sepertimu. Saya bingung: sungguh. Apa kata yang bisa membuat mukamu bersemu memerah tapi tetap gagah. Ya seperti kau sekarang ini.


Sepertinya kata itu hanya bisa terwakilkan di imajiku. Tidak bisa terungkapkan. Kalau boleh, aku juga akan memanggilmu Gadis Gula Batu. Tak apa kau setara Gadis, Kau Gula, tapi juga Batu: Gadis Gula Batu.


Karena kau lelaki Gadis Gula Batu. Ah! Buntu!



*Renault Chaniago, kata katamu saya pinjam. Brilian!