Senin, 14 November 2011

25.09.2011.16.15

Tiket itu masih tersimpan apik di tas cokelat mudaku. Tempat dimana aku biasa mengemas senyummu untuk [lagi lagi] membukanya di rumah sebagai teman minum kopi. Tiap kali kubuka tasku, tiket itu menyembul keluar seolah memaksaku mengulang ingatan tentang sore itu dan sore sore lain yang telah kita lahap bersama.

Sore itu kita nonton... Ah, tidak begitu penting apa yang kita saksikan. Ini hanya tentang sore yang ingin kita habiskan. Pertunjukan itu hanya sebuah alasan. Bukan begitu, Tuan? Bahkan sesudahnya aku hanya komentar: filmnya kurang bagus. Karena aku tak menyimak isinya, sibuk membenahi isi hatiku.

Lalu sesudah itu, berbalur jus jeruk, bibir kami sibuk membincang tentang apa saja: juga tentang kuliah, kerja, nikah, aku, kamu, kacamata. Tak satupun yang ku tanggapi benar kecuali tentang alasan kenapa kau sempat "menghilang" tempo hari.

Aku tercekat, ketika hati yang sedari tadi, di teater 3 aku benahi [agar ketika akan ku ungkap dia tidak berebut keluar atau malah tersendat di pangkal lidah] harus kutelan bulat bulat ke dalam perut, jauh dari tempat yang harusnya kukembalikan lagi: ke dalam hati. Paham sudah aku tentang semua yang selama ini jadi pertanyaanku. Dan harusnya aku merasa beruntung tidak sampai jadi menelanjangi hatiku sendiri di depanmu, di depan jus jeruk kita yang tinggal separuh.

Katamu "Bahkan, padamu, aku waspada. Tidak ingin membuatmu berderai derai seperti lainnya.". Paham sudah aku.

Kemudian surat itu kusesapi jauh,, dan semakin jauh ke bawah bantal. Dimana bangkai dan kulit pisang terbuang di sana. Sampai aku benar benar yakin, suatu saat aku butuh surat itu untuk kutunjukkan padamu betapa aku merindu, aku tidak akan pernah menemukannya lagi. Atau akan kutemukan dengan sangat lusuh, bersampul mendung, berbau anyir.

Patah.