Sabtu, 26 Februari 2011

Finally, Saya Mengenalnya


Padahal sudah 23 tahun saya mendiami tubuh ini. Sempat Sembilan bulan sepuluh hari juga di dalam tubuh lain yang serupa. Tapi saya baru mengenalnya kemarin lusa. Betapa naif!
Selama ini saya hanya tau kami hanya bagian kecil dari pria, rusuknya saja. Selama itu pula saya coba menghibur diri, meneriakkan kalau kami bisa jadi mata! jadi tangan! atau bahkan tubuh!
Saya buktikan kalau kami tak melulu duduk dipojokan sambil melukis jendela, kalau saya bisa membentuk kusen kusennya sendiri. Saya terabas adat adat yang merantai telapak kaki saya, kabur dari dogma.

Ibu, saya lihat begitu anggun ketika tangannya mengibas kemeja basah Bapak dan menggantungnya di bawah mendung. Ketika celemeknya terpecik jelantah bekas menggoreng ikan. Ketika tidurnya seperti telah melepas ransel.

Saya tidak perlu membuktikan bahwa perempuan itu kuat. Karena esensinya memang begitu. Kalau airmata bukan indikasi dari kuat lemahnya seseorang, maka saya pikir perempuan lah yang lebih kuat.


ITU! sampai situ saya mengenal perempuan.
Naif.
Padahal ada yang lebih esensi dari sekedar mengklaim kehebatan perempuan.



Perempuan
empu: hormat, kehormatan
Per-empu-an: resapilah sendiri, akan lebih indah


*betapa banyak yang belum saya ketahui tentang diri saya sendiri. Betapa banyak yang perlu saya renungi. Terimakasih telah memberi pengertian berbeda pada sosok perempuan, Lelanang.




Kamis, 10 Februari 2011

Menangis [?]

Tadi siang ketika saya duduk sambil terpejam di sofa ruang tamu kantor.

Saya dengar suara sesegukan yang kemudian membangunkan saya.

Anak itu, mungkin 15 atau 16 tahun, masih kelas 2 SMA

Dari Malang, Praktik kerja di kantor saya.

Bersembunyi di balik punggung teman kerja saya yang duduk di samping saya

: menangis


Saya pikir dia kangen Bapak Ibunya di Malang.

Ternyata alasan dia menangis hanya karena satu hal sepele menurut saya

Dia putus cinta dengan kekasihnya.


Ya, saya bilang sepele buat saya.

Karena itu sama sekali bukan saya yang merasakan.

Saya tidak dapat imbas atau dampak apapun dari kerunyaman kisahnya.


Saya tidak komentar ketika dia sambil terpatah patah

mengatakan sebab dia menangis

[terus terang, kalau saya boleh berkomentar dan kalau orang orang tidak tersinggung dengan komentar saya, saya ingin sekali bilang:

apa yang kau tangisi? alasanmu menangis kali ini sangat aneh!]


Betapa tidak, menangis hanya karena putus cinta di umur yang baru 16an.

Apa yang bisa dia jadikan alasan kuat untuk menangis?

CInta? Ah rasanya terlalu dini bicara cinta di kondisi psikologis yang masih labil.


Maaf ya anak muda, kalau kau berpendapat saya tidak punya perasaan.

Saya juga pernah mengalami usia 16 dan juga mengalami hal yang sama.

Saya juga pernah menangis, malah lebih basah darimu.

Dengan alasan yang sama sepertimu. Sama persis.


Entah kenapa setelah sekarang saya duapuluhtiga, saya merasa tangisan saya tujuh tahun yang lalu itu bodoh. Sangat bodoh.

Apa yang ada dibenak saya tentang cinta 16 tahun?

Romantisme masa kanak kanak yang terlalu naif jika terlalu beradu dengan perasaan.

Kecuali saat umur segitu saya sudah dikawinkan, wajar kalau saya bicara tentang cinta dan mungkin menangisinya.


Duapuluhtigapun saya pernah menangis, meskipun tidak sesengukan seperti dulu.

Saya merasa sayang melunturkan air mata hanya karena pria [dalam hal ini, cinta]

Sebelum saya benar benar punya alasan logis untuk menangis, saya enggan.

Sampai pada saatnya pun saya menangis di duapuluhtiga

Mungkin Ibu yang akan berujar:



Tangisanmu BODOH!





*mungkin karena Ibu sudah matang dalam urusan cinta. Sudah bisa memilah mana yang penting dan tidak penting untuk ditangisi.

Dari situ saya menarik simpulan, semakin kita melihat ke belakang, semakin cinta seperti yang sedang kita bicarakan ini adalah anak tangga yang di bawah, lupakan saja.



[tapi saya maklum tangismu tadi, anak muda. saya juga pernah begitu. Jangan khawatir]

Sabtu, 05 Februari 2011