Senin, 15 November 2010

Emansipasi [dan] Wanita


Tadi pagi saya berbincang lewat pesan singkat di ponsel dengan sahabat saya: Pria
Obrolan ringan saja, tidak pelik
Entah berawal dari mana, obrolan kami mengarah pada pembicaraan tentang emansipasi [wanita]



- Pria itu ya, hoby-nya nyakitin wanita. Selingkuh sana sini

+ Lha salah sendiri, wanita kenapa mau diselingkuhi

- Atas dasar emansipasi, kami [wanita] juga tidak ragu melakukan hal yang sama.
Jangan komplain ya para pria, derajat kita sejajar *meskipun tidak sama

+ Emansipasi... Bablas klambine! Astaghfirullah

- Saya bilang kan derajat kita sejajar meskipun tidak sama. Toh kelak kalau saya menikah, saya tetap sudi membasuh kaki suami saya sepulang dia bekerja. Meskipun mungkin dikantor saya, kaki saya yang dibasuh karyawan karyawan saya.

+ *belum membalas sampai postingan ini dipublikasikan*



Ya memang, emansipasi bukan berarti setiap apa yang bisa pria lakukan, boleh juga wanita lakukan.
Pernah sekali waktu saya juga menyimak note yang dibuat teman saya tentang emansipasi. Saya curi sedikit: "Katanya emansipasi wanita, giliran disuruh benerin genteng gak mau. Bilangnya,, itu kan pekerjaan pria."

Banyak pria sinis dengan emansipasi yang Kartini perjuangkan untuk wanita.
Entah mereka merasa dikangkangi atau takut kalah disaingi.
Kenapa begitu? Maksud kami emansipasi adalah keseimbangan perlakuan. Tidak adanya diskriminasi jender, itu saja. Bukan berarti kami harus bisa membetulkan atap yang bocor atas dasar emansipasi.
Seorang suami senang juga kalau istrinya bisa bekerja, tapi kami toh tidak menuntut seorang suami untuk bisa memasak.

Beberapa wanita juga saya akui telah salah tanggap tentang emansipasi. Mereka sampai lupa kewajiban kewajiban fitrah yang [harusnya] asasi dalam diri seorang wanita.
"Kebablasan..."
Terkadang benar.

Rasanya terlalu berlebihan menganggap Kartini sebagai icon emansipasi wanita. Kesejajaran sebenarnya sudah bisa kita amini sejak zaman Nabi Muhammad. Terbukti istri Beliau, Khadijah merupakan saudagar, Khadijah berkarir. Tapi Khadijah tidak lupa posisinya sebagai seorang wanita, terlebih sebagai seorang istri.

*biar begitu, saya berterimakasih juga kepada Kartini, telah memperlebar pintu emansipasi. Kalau tidak begitu, mungkin sekarang saya di rumah: menggendong anak ke lima saya sambil mengadoni tepung roti.

Yang kami inginkan bukan kesamaan perlakuan, hanya keseimbangan.
Kalian [laki-laki] juga berharap kami masih ingat kodrat kami sebagai wanita bukan? Maka hargai kami selayaknya kami ingin dihargai. Dengan begitu kami juga akan menghargai diri kami: sebagai wanita [yang asasi].


*bukan, ini bukan menanggapi SMS tentang perselingkuhan yang sedari pagi hilir mudik. Tapi lebih universal pengaplikasiannya dalam hidup sehari hari. So, Pria dan Wanita, mari saling menghargai hak dan kodrat sesama.

Selamat Pagi Matahari


Ah, saya puas
Telah mendahuluimu bangun pagi ini
Bukan saya bangun pagi pagi sekali
Tapi memang saya tidak tidur
Takut kecolongan: takut kamu lagi yang bangun lebih dulu

Saya menemukanmu di pojok pintu
Sedang menyeka mata dengan kain batik keris
Belum sempat mengunyah siwak
Matamu masih sayu
Sembap

Seperti semalaman menyaksikan pentas teater
dan berdiskusi tentang pencahayaan panggung
yang tidak seterang tatapanmu

Saya tertawa puas
Berhasil menemukanmu di pojok pintu
Kemudian melemparkan handuk
agar kau segera mandi

Kamu malah melipat handuk itu
Dan tertawa lebih keras dari tawaku

Kamu memintaku melihat ke luar
Saya melihat sekumpulan awan hitam legam
Minum teh di halaman rumahmu

Saya memandangimu lekat lekat
Kamu malah balik memandangi saya

Sebenarnya kamu sudah bangun dari tadi
Bahkan jauh sebelum saya menemukanmu di pojok pintu

Kamu menyapu wajahmu dengan batik keris
sehabis kamu mencuci muka
Kamu tidak ingin buru buru mandi
Pagi ini kamu ingin memberi kesempatan
pada Mendung untuk menampakkan diri

Saya tidak pernah bangun lebih pagi darimu, Matahari
Tidak pernah sekalipun

Katamu: biar aku yang mengucapkan
selamat pagi untukmu lebih dulu