Kamis, 27 Mei 2010

Buku VS Selera Pasar

Setelah cukup lama kenalan dengan dunia percetakan dan perbukuan, saya seperti menyadari *atau mengambil kesimpulan sendiri, ada yang salah dengan paradigma perbukuan.
Saya pikir, manusia akan memerlukan buku [dalam hal ni, buku dapat dikategorikan sebagai kebutuhan]. Tapi makin kesini, sepertinya buku yang susah payah mencari pembaca.

Teringat saat beberapa waktu lalu, cukup lama juga, saya freelance di salah satu penerbit buku sebagai desainer grafis. Di kampus saya ditelpon oleh yang empunya penerbitan:
Mbak Poetry, penulisnya sudah memilih salah satu thumbnail dari desain kamu. Bisa tolong dieksekusi lebih dalam lagi? Terus saya mau visualnya diganti. Itu visualnya kurang gimana gitu. [maaf saya tidak bisa menyebutkan judul bukunya]

Saya pikir semua visual merupakan sebuah simbolisasi. Tidak harus kan novel percintaan mencantumkan gambar hati di dalamnya. Atau paling tidak, gambar hatinya tidak perlu berwarna merah kan?

Tapi yang empunya penerbitan ngotot untuk mengganti visual yang telah saya buat dengan visual yang ada dalam benaknya *meskipun saya tidak tau benar apa yang ada dalam benaknya.
Dia bilang: pasar suka visual yang seperti ini, mereka akan tertarik dengan gambar gambar seperti ini.

Sadar atau tidak sadar, isi buku dan segala macam penyertanya "harus mengikuti selera pasar".
Buku jadi harus bekerja keras mencari cari pembaca. Pembaca suka warna pink, maka buku itu harus berwarna pink.

Secara kontinyu, selera pasar *baik dari segi materi atau selera visual, diam ditempat.
Saya salut dengan penerbit penerbit yang mau melangkahi rule itu dan menciptakan selera pasar sendiri. Saya tau itu gambling: dan mereka berhasil!

Paling tidak mereka menciptakan sejarah, mengedukasi selera masyarakat, dan tidak diperbudak oleh pasar.