Rabu, 20 April 2011

Sekalipun Saya bersanggul, Kau Tak Akan Tau

Hari ini saya lihat anak anak seumuran Sekolah Dasar bersolek dari pagi buta pakai kemben. Kebaya warna warni. Sanggul rupa bentuk. Hias hias wajah. Selop dan kelom hiasi kaki mereka. Ramai sorak sorai di jalan raya.


Betapa dari kecil mereka diajarkan untuk mengenali budaya.

Kartini, dari Jawa yang sedang berlimpah puja hari ini.

Dielu sebagai pembuka rantai kaki wanita yang konon sedari pagi terikat di kaki rak piring belakang rumah. Sosok yang konon paling lantang teriakkan emansipasi wanita.


Tapi hari ini pulalah saya merindu Khadijah. Wanita yang tidak pernah kita peringati hari lahirnya, tapi menjadi bagian dari sejarah dunia. Wanita yang ada di belakang Muhammad, suaminya. Seorang karir yang tak lupa fitrahnya sebagai seorang wanita. Dan sekaligus seorang istri.


Khadijah dijejali ke otak saya, jauh sebelum saya kenal kebaya: kenal Kartini.

Saya ingat ketika TPA (setara pendidikan anak usia dini, berbasis agama), saya diajarkan bernyanyi:


...

Nabimu.... prok prok prok!

Muhammad.

Istrinya.... prok prok prok!

Khadijah.

dan juga.... prok prok prok!

Siti Aisyah.

...


Khadijah berhasil menginspirasi saya. Mendoktrin bahwa sebenarnya wanita juga bisa menghidupi dirinya sendiri. Sekaligus mengingatkan meskipun begitu, wanita tetaplah makmum seorang ikhwan. Jauh lebih dulu dari apa yang baru kau lakukan. Dan lebih arif [jika saja wanita terkini tidak menginterpretasikan perjuanganmu se-bablas kini]


Dan Kartini, sekalipun saya bersanggul hari ini, orang orang tak akan tau.

Karena Khadijah mencontohkan saya berhijab.