Minggu, 12 Februari 2012

Berbincang Dalam Diam

Aku punya satu tiket lagi darinya. Tiket pertunjukan tari kolaborasi di salah satu bengkel seni di pinggiran Jakarta. Dia bilang, "Simpan ini. Barangkali bisa buat bahan menulis di blog-mu lagi." seraya menyodorkan dua potongan tiket marun dan abu-abu. Miliknya yang marun, sisa lainnya milikku berbeda warna karena aku membayar tiket setengah harga hanya dengan menunjukkan kartu kecil berlogo Institut tempatku berdiskusi tentang seni.


Aku kabuli celotehnya, aku menulis lagi.


Hari ini entah hari keberapa aku tidak menulis di blog ini. Bahkan tidak mengunjunginya dalam waktu yang lama. Jika blog ini adalah sebuah rak, barangkali kecoa beranak pinak di sini. Atau barangkali ini buku harian, lembaran kertasnya mungkin sudah menempel satu dengan yang lainnya karena lembab.


Aku ingat beberapa waktu lalu memposting sebuah tulisan hanya karena secarik kertas kecil yang aku bilang (di tulisanku tempo hari) sering menyembul keluar ketika aku membuka tas cokelat mudaku. Kali ini aku tidak mau lagi diganggu sembulan semacam itu. Tiket marun dan abu abu milik kami aku simpan di dalam dompet. Aku kancing di salah satu kantongnya, aku tutup rapat. Mungkin mereka pengap. Aku pura pura tidak peduli.


Kali ini aku menyimak betul pertunjukan tari yang kami kunjungi. Menyimak betul betul. Meskipun di beberapa babak, aku kurang mengerti arti tembang tembang yang mereka nyanyikan dalam bahasa Sunda dan Jawa. Tapi aku menikmati, sangat. Aku pikir laki laki dan perempuan yang bisa menari itu seksi.


Sepanjang pertunjukan, mataku lekat pada deret alat gamelan dan para penari dari dua budaya berlainan itu beraksi menunjukkan diri. Berputar, meliuk, menghentak: berkeringat. Sepanjang pertunjukan kami tidak berbincang sama sekali. Hanya celetukan sesekali. Sungguh aku benar memperhatikan mereka. Sungguh. (Tanganku juga berkeringat).


Sedari tadi tidak ada perbincangan berarti tapi aku bicara: dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau. Pun ketika kau tawarkan susu jahe di angkringan depan gedung pertunjukan, aku bicara dalam hati. Bukan tidak ingin kau tau, karena kau pasti tau.


Dalam diam kita berbincang: tentang aku, kamu, kuliah, nikah, kacamata. Juga tentang tiket bioskop yang sering menyembul keluar dari tasku. Aku tau ketika kau menyeruput susu jahemu kau bilang: "Tiket itu masih sering menyembul keluar tasmu? Tas yang inikah? Yang cokelat muda ini? yang kau sandang sedari tadi? Tas yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari? Aku simak, bajumu juga sama. Baju yang sama yang kau pakai nonton denganku tempo hari." Dan kau tau aku menjawab semua pertanyaanmu dengan satu jawaban: "Ya.", sambil meneguk susu jaheku.


Hidup harus terus berjalan, meskipun kenyataan tak sesuai apa yang diimpikan. Remuk redam itu masih terasa tapi aku mencoba terbiasa. Toh aku memang sudah biasa. Semenjak kau sudahi petualanganku merebut hatimu, pekerjaanku mulai bertambah: merapikan potongan hati yang terburai-setiap hari.


Mungkin kemarin dan esok lusa nanti, aku memilih berbincang denganmu lewat diam. Karena bicara tak lagi mampu menumpah ruahkan semua. Sekalipun aku berkali mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar