Rabu, 09 Mei 2012

Aku Segera Menikah


Sore itu kami janji bertemu disebuah pusat perbelanjaan di pinggir kota. Di bioskop yang kami sebut 21. Rencananya mau nonton film terbaru dari serial komik yang kemudian difilmkan. Aku janji tiba lebih dulu di sana, janji untuk membeli tiket buat kami berdua.

Enam puluh menit sebelum sampai di 21. Aku sibuk memilah baju apa yang ingin aku pakai: Kaos putih polos dengan rok denim. Blus dengan jeans biru tua. Cardigan pink susu dengan rok panjang broken white.
-Kaos polos abu-abu, denim overall skirt warna hitam, jeans hitam.-
Fix. Aku meluncur dengan vespa merahku. Aku hitam dan kelabu. Kau... Aku belum tau. Kita janji bertemu.

"Aku menunggumu di pintu. Di dalam kaos polos abu-abu." -draft
"FYI. Parkiran Junction penuh banget." -sent

"Dah dmn?"
"Gue di parkiran"
"Menuju situ"

"Iya lg antre tiket"
"Jam 17.45 abis. Mau yg jm 20.30?"

"Ya boleh"

"Okeh"

Pukul 16.15 aku sudah sampai di sana. Di tempat janjian kita. Sepuluh menit kemudian kau sudah tiba. Tak kusangka kau juga dalam hitam. Sudah terpuaskan rasa ingin tauku tentang baju apa yang kau pakai.

Masih dua setengah jam lagi film kita dimulai. Bingung menghabiskan waktu dimana, kita memutuskan untuk minum kopi di Black Canyon Coffee. Kau yang pilih untuk duduk di sofa depan cafe sambil menyaksikan Moto GP. Kita berbincang tentang diam. Sesekali tentang rokok, cokelat, dan sakit gigi -juga sakit hati-.

Kau bilang, orang orang yang sukses berawal dari sakit hati. "Lihat saja Adele, Mozart, Einsten..." kau berkata menggebu gebu. "van Gogh." aku menambahkan. "Betul, betul sekali."

Aku bilang, sakit gigi jauh lebih sakit ketimbang sakit hati. Karena sakit gigi tidak bisa dibagi dengan orang lain, sakit hati bisa. Kau tidak setuju. karena kau bilang sakit gigi bisa sembuh dengan Ponstan, sakit hati tidak. Kita memang selalu berselisih pendapat. Selalu begitu. Kau tau betul membuat diskusi jadi lebih hidup. Membuat obrolan jadi panjang.

Sekian jam berlalu. Tiket yang sudah ku kantongi kuserahkan di pintu masuk teater 4 agar kami diperbolehkan masuk ke ruang pemutaran film. N9 dan N8, deret depan, membuat kami sedikit dongak untuk menyaksikan film. Tak apa, aku sudah terbiasa dalam suasana tidak enak jika bersamamu.

Dua setengah jam kita habiskan untuk duduk di ruang gelap yang berpendingin. Menyuguhkan suara dan gambar bergerak. Menyiratkan kenyamanan untuk tidak mau beranjak.


Seperti biasa, seperti hari hari janji temu kita sebelumnya. Aku selalu berharap punya banyak waktu untuk lebih lama bersamamu. Membincangkan apa saja, berkomentar tentang siapa saja. Hingga pagi pun mau, bila oh denganmu. Karena ku selalu... Senang bersamamu... kira kira begitu kata Naif. -bullshit!- Jelas ini masalah hati, masalah kagum padamu yang berlebihan sampai akhirnya salah terapan.


Aku sadar betul aku salah paham tentang kita. Dan aku yakin kau pun sudah paham. Tapi aku pura pura alpa. Menganggap pertemuan pertemuan kita itu biasa saja. Aku lelah. Tapi seperti snorkling, lelah setelah bergulat dengan air laut dan ombak tidak membuatku lantas kapok untuk nanti datang lagi. Terjun lagi ke laut untuk menikmati indah dunia di bawahnya. Seperti junkies yang menganggap sakit adalah nikmat sesungguhnya.

Kami memutuskan untuk pulang setelah itu. Hari sudah terlalu malam, pukul 22.15 saat kita keluar ruang pertunjukan. Aku juga sudah tidak kuat menahan kantuk. Kami berpisah. Aku lelah. Hatiku lelah.


"Sayang, dari tadi kamu aku hubungin gak bisa. HP kamu kenapa? Ini aku mau nanya, list temen2 kamu yang mau diundang siapa aja?" sender: Ari.

Tap OK to shutdown your phone

OK



2 komentar:

  1. Cerita selanjutnya apa? Apakah esok harinya kau terbangun dari tidur dan semua perjalanan, perbincangan dan pergulatan batin yang melelahkan itu hanya mimpi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besoknya aku bangun siang. Pergulatan batin sudah lumrah. Aku masih juga belum menikah.

      Hapus